PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Eksekusi lahan Gedung Hamrawati seluas 12.931 meter persegi di Jalan AP Pettarani, Makassar, yang digelar Kamis (13/2/2025)blalu, menuai protes dari ahli waris dan sejumlah pihak.
Eksekusi ini merujuk putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap dan dilaksanakan Pengadilan Negeri (PN) Makassar.
Namun, ahli waris menilai proses hukum bermasalah karena diduga melibatkan pemalsuan dokumen selama persidangan dan majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara telah menghilangkan barang bukti sebanyak 12 yang diajukan di persidangan.
Muhammad Alif Hamat Yusuf, selaku kuasa hukum sekaligus ahli waris Gedung Hamrawati, menolak putusan PN Makassar, Kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus ini.
Pada tingkat Banding, ahli waris yakni Alif Hamat Yusuf dan saudaranya memenangkan gugatan setelah majelis hakim membatalkan putusan PN Makassar dengan pertimbangan "gugatan penggugat tidak dapat diterima".
Alif menegaskan putusan Banding sudah tepat karena baik batas-batas tanah maupun luas tanah yang digugat tidak jelas sehingga gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Ia menyayangkan putusan Kasasi dan PK yang dianggap tidak adil karena mengukuhkan putusan PN Makassar. “Saya menolak putusan itu karena majelis hakim tidak imparsial dan memihak penggugat, A Baso Matutu,” ujarnya berapi-api saat ditemui di sebuah kafe di BTP, Tamalanrea, Makassar, Rabu malam (19/02/2025).
Alif mengklaim telah mengirim surat permohonan penghentian eksekusi ke PN Makassar, Polrestabes maupun Polda Sulawesi Selatan karena putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan (non exsecutable) karena adanya putusan Komisi Yudisial RI (KY) dan putusan A Baso Matutu yang sudah ingkrah.
“A Baso Matutu bahkan divonis pidana akibat menggunakan bukti palsu. Namun, eksekusi tetap dilakukan,” tuturnya geram.
Kuasa Hukum Ahli Waris juga melaporkan tiga hakim PN Makassar ke Komnas HAM RI atas dugaan pelanggaran UU No. 39/1999 tentang HAM Pasal 8 dan 17. “Bahkan kami sudah menyampaikan surat ke Mahkamah Agung tentang putusan yang tidak adil dan memihak kepada penggugat A Baso Matutu,” tambahnya.
Dalam persidangan pertama di PN Makassar (2018), Alif menuding Ketua Majelis Suratno, SH beserta hakim anggota Adhar, SH, M.Hum, dan Harto Pancono, SH, menghilangkan alat bukti krusial.
“Putusan itu cacat hukum. Kami mendesak ketiganya diproses karena terlibat mafia peradilan,” tegasnya.
Menurut Alif, seluruh bukti sah seperti sertifikat hak milik, IMB, PBB, dan bukti lainnya yang sah tidak dipertimbangkan mulai dari bukti T1-1 s.d T1-48. Sedangkan T1-49 s.d T1.60 dihilangkan dan tidak dimuat dalam putusan.
KY disebut telah memberi sanksi terhadap tiga hakim tersebut. Sementara A Baso Matutu, menurut Alif, telah menjalani hukuman 7 bulan penjara atas pemalsuan bukti dan ditambah 1 tahun 6 bulan penjara juga pemalsuan bukti yang diajukan dalam perkara perdata No 49/Pdt.G/2018/PN Mks.
“Dia hanya membawa fotokopi dokumen tanpa asli, tapi pengadilan mengabulkannya. Ini kejanggalan nyata,” tandas Alif. (Hdr)