PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Tiga buku karya Prof.Dr.Nurhayati Rahman, M.S. diluncurkan. Salah satu di antaranya adalah Lagaligo Jilid IV. Puluhan tahun sudah Prof.Dr.Nurhayati Rahman, M.S., Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas mengurusi naskah I Lagaligo, yang menjadi naskah terpanjang di dunia. Dia Bersama timnya mengalihaksara dan mengalihbahasakan naskah yang ditulis di atas daun lontar dalam Bahasa Bugis Kuno ke dalam aksara Latin dan Bahasa Indonesia.
“Saya merasa sudah uzur. Tidak muda lagi,” kata Nurhayati Rahman ketika berlangsung peluncuran tiga buku karyanya berjudul: “La Galigo Menurut Naskah NBG 188”, “Colliq Pujie Intelektual Penggerak Zaman”, dan “Aku di Antara Santri dan Tradisi” yang bertajuk “Bertamasya ke Masa Silam: Mengungkap Misteri Perempuan-Perempuan dalam La Galigo” di Aula Unhas TV Gedung Science Techno Park Unhas Kampus Tamalanrea, Sabtu (22/2/2025).
Nurhayati Rahman menjelaskan, salah satu misinya adalah 12 jilid naskah Lagaligo yang ada di Negeri Belanda harus tuntas dialihaksarakan dan dialihbahasakan. Mungkin dia tidak bisa terus menerus mengawalnya. Oleh sebab itu, dia harus melakukan regenerasi. Basiah S.S.,M.A. bertugas khusus mengalihaksarakan Lagaligo dari huruf Bugis Kuno ke aksara Latin. Sementara Faisal Oddang menyastrakannya.
“Tidak bisa naskah Lagaligo diterjemahkan serampangan karena berdasarkan pendapat para pakar di Belanda, kalau kita kerjakan secara serampangan nilai sastra Bugisnya bisa dizalimi karena aslinya dalam bentuk sastra tahu-tahu terjemahannya tidak sesuai,” ujar Maha Guru kelahiran 29 Desember 1957 tersebut.
Peluncuran buku yang dibuka Kepala Prodi Magister Gender dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Unhas Prof.Dr. Nursini, S.E,, M,.A, dan dihadiri Kepala Bidang Sejarah dan Cagar Budaya Dr.Dra. Purmawati, M.Hum, mewakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel menampilkan narasumber penulis buku Prof.Dr.Nurhayati Rahman,M.S., Tim Penerjemah I Lagaligo., Basiah, S.S.,M.A., dan Faisal Oddang, S.S., M.Hum (Sastrawan Muda Asia Tenggara, dan Pemenang Lomba Penulisan Cerpen Harian Kompas). Bertindak sebagai panelis, Irmawati Puan Mawa, S.Si. (Jurnalis Perempuan), Supratman, S.S.,M.Sc., Ph.D. (Dosen Sastra Asia Barat FIB Unhas/Redaktur Unhas TV), Aflina Mustafainah, S.Ag.,M.Si (Aktivis Gender Indonesia) dengan moderator Imtihana Inayah, S.Sos (Mahasiswa Prodi Gender Pembangunan Jaringan Gender Indonesia).
Dulu, Nurhayati Rahman seorang diri mengerjakan tugas mulia ini. Namun Insha Allah, keduanya (Basiah dan Faisal Oddang) bisa mengambil alih dengan mengerjakan alih aksara dan alih bahasa yang sastrawi. Mereka bertiga ini harus ke Belanda karena ada nota kesepahaman (memorandum of understanding –MoU) dengan Universitas Leiden pada tahun 1987. Kebetulan naskah ini (Lagaligo) disimpan di Universitas Leiden. Tim Nurhayati Rahman harus ke Belanda selain karena ada MoU, namun sejahat apa pun Belanda pernah menjajah Indonesia, namun naskah Lagaligo dapat diselamatkan. Kalau di Indonesia sendiri sudah banyak yang dimakan api dan dimakan rayap. Sudah hilang, namun di Belanda terselamatkan.
“Saya pernah didemo oleh mahasiswa yang mendesak agar meminta kembali naskah itu,” kenang Nurhayati.
Universitas Leiden memelihara naskah itu dengan sangat rapi. Tempatnya saja diatur dan membacanya harus hati-hati. Harus mengenakan kaus tangan. Dan staf Universitas Leiden “mengawal” tim Nurhayati. Salah cara membukanya saja, langsung ditegur.
“Kita mungkin belum memiliki tenaga profesional seperti itu,” ujar Nurhayati Rahman.
Dia mengatakan, kita tertolong dengan adanya digitalisasi naskah Lagaligo atas jasa baik M.Jusuf Kalla (JK) dan kemudian diakses dan para mahasiswa dapat belajar tanpa harus ke Belanda. Nurhayati Rahman mulai menaruh perhatian terhadap naskah Lagaligo tahun 1992 bersama dengan Dr. Mukhlis PaEni.
Peluncuran buku ini ‘surprise’ banget buat Nurhayati Rahman karena buku yang diluncurkan, I Lagaligo Jilid IV baru terbit Januari 2025 dan dicetak Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Rencananya usai lebaran, namun “anak-anak” Prof. Nur – panggilan akrabnya – di Prodi Gender pada tahun akademi 2024 ini sangat antusias dan mau meluncurkannya sesegera mungkin. Meskipun Prof. Nur sendiri tidak yakin “anak-anak”-nya itu dalam waktu yang sangat singkat dapat melaksanakannya. Biasanya, kata Prof. Nur, diperlukan waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.
“Kejutan banget buat anak-anak saya yang bisa melaksanakan peluncuran ini dalam waktu yang singkat,” kata Prof. Nur sembari meminta yang hadir bertepuk tangan dalam acara yang diawali dengan sumbangan musik suku “To Ballo” yang menetap di Gunung Pujananting Kabupaten Barru sumbangan dari Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM).
“Kitab Suci”
Nurhayati Rahman diminta mengungkapkan misteri gender di dalam I Lagaligo. Lagaligo, kata Nurhayati Rahman, merupakan “kitab suci”-nya orang Bugis. Oleh sebab itu, mendiang Prof.Dr.Mattulada tidak ingin Lagaligo disebut sastra. Kapan naskah ini disebut sastra, maka tersinggung penganutnya, termasuk Komunitas Tolotang di Sidrap yang untuk menyebut nama Sawerigading saja mereka harus membersihkan mulutnya. Begitu sakralnya naskah Lagaligo dan Sawerigading di dalam naskah ini bagi mereka.