Diibaratkan tulang, jelas Aspidmil, seseorang yang mengkonsumsi ikan bandeng maka boleh dipastikan menyisakan tulang.
“Tulang inilah yang diibaratkan zakat, harus dibayarkan karena terdapat hak orang lain”, tegas Aspidmil.
Sebagai penyempurna, dicontohkan seseorang yang ingin menjahit baju atau celana, maka kain yang digunakan terdapat bagian yang tergunting (terbuang).
“Tidak mungkin seluruh kain yang ada digunakan untuk membentuk baju atau celana. Adanya guntingan yang harus dibuang justru menjadi penyempurna terbentuknya sebuah baju atau celana yang layak dipakai secara etika dan estetika,” urai alumni Fakultas Hukum Unhas angkatan 87 itu.
Di akhir ceramahnya, Aspidmil juga menyampaikan hakikat Idul Fitri sebagai momentum kemenangan mengendalikan hawa nafsu, menahan diri dari makan dan minum.
Puncak euforia, berhasil menjauhi berbagai kegiatan yang dapat merusak pahala ibadah.
Idul Fitri merupakan titik awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tempaan kawah candradimuka Ramadhan guna meraih predikat “takwa” sekaligus menjustifikasi terpeliharanya diri untuk tetap melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Dikutip dari buku “How Did The Prophet & His Companions Celebrate Eid?”, umat Islam menggelar perayaan Hari Raya Idul Fitri pertama pada tahun kedua Hijriyah atau setelah perang Badar.
Beberapa amalan Nabi SAW menyambut dan merayakan Idul Fitri: Pertama, memperbanyak bertakbir, Allah SWT berfirman: “Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan dan bertakbirlah kepada Allah” (QS. Al-Baqarah: 185). Kedua, berhias, memakai pakaian terbaik dan makan sebelum shalat Idul Fitri. Ketiga, shalat Idul Fitri. Keempat, mengunjungi rumah sahabat dan Tahniah (memberi ucapan selamat).
Euforia Idul Fitri, imbuhnya, tidak sebatas selebrasi kemenangan. Namun harus direfleksikan sebagai starting point untuk membentuk manusia yang lebih berkarakter dan bermartabat. (*)