Sarjan mengisahkan, awal mulanya, kedua pria itu menanyakan, apakah Sarjan sempat melihat anak kecil. Sarjan menjelaskan, saya baru tiba di tempat itu.
Mungkin mereka ingin memanfaatkan suasana sepi untuk melaksanakan aksinya dengan berpura-pura bertanya macam-macam. Sepintas, Sarjan curiga karena keduanya berbadan kekar. Bagus badannya, meskipun tidak terlihat ada tato. Rambutnya juga tidak gondrong. Hanya mengenakan celana levis dan jaket.
Tiba hari ketiga, kakinya mulai lecet. Setiap hari, dia berjalan mulai pagi hingga menjelang pukul 22.00 WIB. Jika sudah tiba waktu tersebut, dia memilih tempat di pinggir jalan untuk membaringkan tubuhnya. Karena jalan Pantai Utara (Pantura) banyak terdapat areal persawahan, di situ terdapat saung (pondok-pondok) kecil. Di situlah Sarjan melepaskan lelahnya hingga pagi. Jadi dia berjalan 18 jam sehari.
Untuk makan sahur, terkadang melahap roti dan biskuit yang dibawa. Itu kalau tidak ada warung tegal (warteg). Dia memilih jalur Bumi Ayu-Brebes . Ada juga lewat Yogya-Klaten. Di tengah jalan perjalanan, Sarjan sempat kehabisan duit. Tapi masih ada kartu ATM yang dia manfaatkan untuk menarik uang transferan saudaranya kemudian. Jalur yang terasa cukup jauh dirasakannya adalah rute Ngawi-Madiun, meskipun hanya 34 km.
Setiap hari, Sarjan melintasi 3-4 kabupaten. Minimal 2 kabupaten. Sarjan mengakui, sehari dia bisa menempuh jarak 100 km. Bahkan bisa lebih. Ketika melintasi Subang (masih di Jawa Barat), cerita Sarjan, dia hampir dipatok ular kobra. Waktu itu boleh disebut masih sore. Antara pukul 18.00-20.00. Pinggir jalan masih terang. Di daerah pertanian Jawa Barat inilah dia sempat bertemu dengan empat orang senasib dengan dirinya. Tetapi berbeda tujuan mudik dengan Sarjan. Ketiga teman senasib itu, mudik setelah diputus hubungan kerja (PHK) ada yang mudik ke Solo, Cilacap, dan Surakarta.
Meskipun demikian, bersama ketiga teman sependeritaan itu, Sarjan sempat nebeng kendaraan bareng. Kendaraan yang berbaik hati yang memberi tumpangan itu, jenis truk.
Jadi selama 10 malam perjalanannya, Sarjan tidur di pinggir jalan. Jika tidak di saung, ya di pos ronda. Pada hari kesepuluh perjalanannya, kantong Sarjan kempes. Kosong. Beruntung ada bantuan darurat dari saudaranya. Pernah pada saat tanpa uang sama sekali, sepanjang jalan, dia ‘mencari uang’. Caranya, matanya memelototi sepanjang jalan. Ada-ada saja uang kecil tercecer. Biasanya lembaran Rp 2000. Pernah dia mampu mengumpulkan hasil pelototannya ini sampai Rp 20.000. Uang itu dia pakai naik angkutan kota (angkot) antarkecamatan. Sempat tiga kali naik angkot dengan 20 ribu perak itu.
Setelah uang habis, turun kendaraan. Jalan kaki lagi. Makan pun sehemat mungkin.
Menjelang masuk Banyuwangi dia sempat gamang. Soalnya ada pemeriksaan Operasi Ketupat. Takut saja terjaring. Tetapi beruntung, saat dia melintas di lokasi operasi situasi sudah aman terkendali. Petugas sudah istirahat.
Ujian pertama menyeberang di Ketapang Banyuwangi. Bagaimana caranya, orang yang berjalan kaki harus nebeng pada kendaraan yang akan naik ke feri. Banyak calo di situ yang menawarkan jasa dan bantuan. Mereka punya koneksi dengan para sopir langganannya. Risikonya, Sarjan harus merogoh koceknya. Rp 200.000 untuk menyebrang dengan cara diselundupkan di truk barang tersebut. Petugas pun menyangka Sarjan adalah sopir bantu atau kernet.
Dia kembali melanjutkan perjalanan kaki menuju Padang Bai, di pantai timur Pulau Dewata. Untuk menyeberang ke Lembar menggunakan feri, “rumus” yang digunakan di Ketapang Gilimanuk diterapkan. Ya, membayar calo lagi. Tetapi Sarjan masih dapat karting. Dia hanya membayar Rp 100.000. Perjalanan menyeberang kali ini lebih lama. Lima sampai enam jam baru merapat di Pelabuhan Lembar di Lombok Barat.
Hari masih siang ketika Sarjan merapat di Dermaga Lembar, Lombok. Dari Pelabuhan Lembar dia menumpang sebuah truk. Lantaran truk akan ke jurusan yang berbeda dengan Sarjan, dia diturunkan di bundaran Patung Sapi, yang satu cabangnya ke Bandara Internasional Lombok di Praya. Satu jurusan lain ke Kota Mataram. Dia akhirnya berjalan kaki ke rumah saudaranya 13 Mei 2020 malam.
Ternyata keluarganya sudah mencium petualangan Sarjan lantaran ada yang memviralkannya di media sosial.
Akhirnya, Sarjan batal melanjutkan perjalanan kaki ke Bima. Di rumah saudaranya dia meminjam ‘honda’ (istilah sepeda motor jika di Bima) untuk melanjutkan perjalanan ke Bima. Sehari setelah tiba di Mataram, saya menelepon adik H.Sofwan, S.H.,M.Hum, yang kala itu sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unram. Dia membantu biaya pembelian ‘minyak’ (bensin) ‘Honda’ yang akan ditunggangi Sarjan menemui orang tuanya.
Sarjan dipeluk haru kedua orang tuanya sesampainya rumah. Orang tua yang merindukan putranya yang baru pulang setelah empat tahun merantau ke Jakarta untuk menuntut ilmu
‘’Bukan niat saya mau viral atau apa, tapi emang saya punya niat pulang kampung jalan kaki,” Sarjan berdalih tentang perbuatan nekatnya menyusuri jarak sejauh 1.600 km itu.
Kabarnya, sekembali ke Jakarta, Sarjan berniat menapaktilasi petualangannya itu. Tetapi hingga tulisan ini dibuat, saya tidak pernah kontak lagi dengan Sarjan.
“Niatnya gitu, biar afdal pulang pergi jalan kaki. Tapi kayaknya orang tua gak izinin saya,” kunci Sarjan dikutip dari IDN Times (14/5/2020). (M.Dahlan Abubakar).