Dua tiga hari kemudian, kata Prof. Mukhlis Hadrawi, Raja Bone membatalkan rencana berlayar dari Bone ke Palopo, melalui Teluk Bone. Perahu yang ditumpangi Raja Bone langsung masuk ke Cenrana karena tiba-tiba awan tebal dan cuaca menjadi gelap. Diikuti turunnya debu dari angkasa dan menempel dengan tebal di perahu. Debu yang terbang dari G.Tambora itu dalam dua tiga hari sampai di Bone. Pada saat itu, di Teluk Bone, lalu lintas di laut sepi.
Cerita kedua terungkap melalui Lontarak Bone. Prof. Mukhlis Hadrawi mengisahkan, di dalam lontarak ini terungkap catatan mengenai eksodusnya rombongan ulama yang barang-barangnya habis akibat letusan itu. Di dalam lontarak ini disebutkan angin dari timur ke barat, sementara debu ke barat dan utara (Sulawesi Selatan). Para ulama itu selamat. Salah seorang yang selamat itu adalah Syekh Achmad. Dia berhasil mendarat di Makassar. Di Bone, dia diterima sebagai guru agama Kerajaan Bone.
Pada masa itu, Raja Bone memiliki putri yang kemudian menjadi Putri Mahkota yang di dalam silsilah Kerajaan Bone (baca: bone.co.id) memerintah tahun 1823-1835 dengan nama We Imaniratu Arung Data Sultanah Rajituddin, Matinroe ri Kessi. Syekh Ahmad tersebut mempersunting Ratu Bone. Pasangan ini melahirkan seorang putra bernama Achmad Gazali. Makam Ratu Bone ini ada di belakang masjid Kota Watampone sekarang. Di kompleks makam ini terdapat kuburan para raja bersama dengan ipar-iparnya.
Prof Mukhlis Hadrawi mengatakan, informasi ini sudah disampaikan kepada Dr. (Kand.) Dewi Ratna Muchlisa, M.Hum yang meresponnya denan positif.
“Ini penting diungkapkan untuk mengetahui relasi Bima dengan Bugis-Makassar sebagai pembelajaran sejarah,” kata Mukhlis Hadrawi dalam perbincangan pada acara buka puasa yang diselenggarakan keluarga Dr.Tammasse, M.Hum-Dr.dr.Jumraini, S.Ked. Sp.S, SubspN.R.E. (K).
Dia menjelaskan, satu abad sebelumnya, terjadi perkawinan antara Sultan Bone dengan Ratu Bone yang bernama Batari Toja Daeng Talaga. Tetapi dia tidak punya anak. Keduanya, bercerai. Batari Toja adalah anak dari La Patau Matanarika, keponakan Arung Palakka (La Tenritatta). Jadi cucu dari Arung Palakka dari saudara kandungnya Fatimah Batari Toja.
Hasil perkawinan La Patau Matanatika dengan putri Luwu bernama Datu Larompong melahirkan dua orang anak. Salah seorang di antaranya adalah Batari Toja Daeng Talaga itu yang kemudian menikah dengan Sultan Bima yang ada di lontarak Bone.
“Jadi, sebenarnya postur genealogis Bima-Sulawesi Selatan adalah dua hal yang penting relasinya Gowa dan Bone,” kunci Mukhlis Hadrawi.
Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa 10 April 1815, terdengar sejauh 360 km hingga ke Sulawesi Selatan. Letusan ini mengakibatkan, gunung yang tingginya 4.300m itu menyusut menjadi 2.851m. Letusan ini termasuk salah salah satu 100 bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Bencana ini menyebabkan 38.000 kematian di Pulau Sumbawa karena kelaparan, 10.000 orang lainnya karena penyakit dan kelaparan di Pulau Lombok. Namun ada yang memperkirakan 48.000 dan 44.000 orang meninggal di Sumbawa dan Lombok. Zollinger, salah seorang ilmuwan Belanda yang menghabiskan banyak waktu di Sumbawa dan menjadi orang pertama yang mendaki pasca-letusan Gunung Tambora menyebutkan, sekitar 11.000 orang menemui ajalnya di Bali dan Jawa Timur.
G.Tambora de ngan “belanga raksasa kawahnya” kini menjadi destinasi wisata alam yang menarik di Kabupaten Bima-Dompu. (*).