Oleh: M.Dahlan Abubakar
RAJA Bone pada tahun 1815 La Mappasessu To Appatunru Sultan Ismail Muhtajuddin Matinroe ri Lebbata (memerintah 1812-1823), mengirim pasukan ke Bajoe dan Pattiro. Bajoe, saat ini merupakan Pelabuhan Feri yang penting, menghubungkan Sulawesi Selatan dengan titik simpul Kabupaten Bone dan Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara, menyeberangi Teluk Bone. Lalu lintas feri kedua titik ini sangat ramai, karena truk yang mengangkut barang dan bus yang mengangkut penumpang melintasi Teluk Bone.
Raja Bone merasa waswas dan negerinya dalam kondisi siaga satu. Pasalnya, setahun sebelumnya, 1814, Bone pernah berperang melawan Inggris.
“Ledakan terjadi bertepatan dengan Raja Bone sedang memimpin rapat. Peserta rapat mendengar ada tembakan Baaaaaarrrr…,” ungkap sejarawan Sulawesi Selatan Prof.Dr. Mukhlis Hadrawi, M.Hum, yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, kepada penulis, 9 Maret 2025.
Informasi ini termasuk yang sedikit diketahui umum di antara semua cerita yang terkait dengan letusan Gunung Tambora di Kabupaten Bima-Dompu, 10 April 1815. Letusan tersebut menimbulkan dampak eksodus ulama ke Sulawesi Selatan. Kisah dampak G.Tambora ini ditulis dalam dua naskah Lontara yang berbeda. Keduanya valid.
Kisah pengerahan pasukan yang dilakukan Raja Bone tersebut tertuang di dalam lontarak Bajo. Para peserta rapat, sebut Prof.Mukhlis Hadrawi, ada yang berpendapat, ledakan tersebut adalah bunyi tembakan. Namun sebagian lagi menyebutkan, bunyi tersebut bersumber dari alam. Raja Bone kemudian membubarkan rapat karena khawatir, Inggris benar-benar akan menyerang Kerajaan Bone dari laut di sebelah timur Kota Watampone yang menjadi (Ibu Kota Raja).
Usai rapat, Raja Bone memerintahkan para pimpinan dan pasukan bergerak ke timur, ke pantai. Mereka menyisir pantai timur itu dengan sangat teliti. Tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Juga tidak ada senjata, seperti meriam yang dicurigai telah melepaskan tembakan yang menggelegar itu.
Di tengah pasukan memeriksa keadaan di pantai, air tiba-tiba surut.
“Air surut, Puang,” laporan anggota pasukan yang ada di pantai dan setelah itu diikuti tsunami besar.
Dua tiga hari kemudian, kata Prof. Mukhlis Hadrawi, Raja Bone membatalkan rencana berlayar dari Bone ke Palopo, melalui Teluk Bone. Perahu yang ditumpangi Raja Bone langsung masuk ke Cenrana karena tiba-tiba awan tebal dan cuaca menjadi gelap. Diikuti turunnya debu dari angkasa dan menempel dengan tebal di perahu. Debu yang terbang dari G.Tambora itu dalam dua tiga hari sampai di Bone. Pada saat itu, di Teluk Bone, lalu lintas di laut sepi.
Cerita kedua terungkap melalui Lontarak Bone. Prof. Mukhlis Hadrawi mengisahkan, di dalam lontarak ini terungkap catatan mengenai eksodusnya rombongan ulama yang barang-barangnya habis akibat letusan itu. Di dalam lontarak ini disebutkan angin dari timur ke barat, sementara debu ke barat dan utara (Sulawesi Selatan). Para ulama itu selamat. Salah seorang yang selamat itu adalah Syekh Achmad. Dia berhasil mendarat di Makassar. Di Bone, dia diterima sebagai guru agama Kerajaan Bone.
Pada masa itu, Raja Bone memiliki putri yang kemudian menjadi Putri Mahkota yang di dalam silsilah Kerajaan Bone (baca: bone.co.id) memerintah tahun 1823-1835 dengan nama We Imaniratu Arung Data Sultanah Rajituddin, Matinroe ri Kessi. Syekh Ahmad tersebut mempersunting Ratu Bone. Pasangan ini melahirkan seorang putra bernama Achmad Gazali. Makam Ratu Bone ini ada di belakang masjid Kota Watampone sekarang. Di kompleks makam ini terdapat kuburan para raja bersama dengan ipar-iparnya.
Prof Mukhlis Hadrawi mengatakan, informasi ini sudah disampaikan kepada Dr. (Kand.) Dewi Ratna Muchlisa, M.Hum yang meresponnya denan positif.
“Ini penting diungkapkan untuk mengetahui relasi Bima dengan Bugis-Makassar sebagai pembelajaran sejarah,” kata Mukhlis Hadrawi dalam perbincangan pada acara buka puasa yang diselenggarakan keluarga Dr.Tammasse, M.Hum-Dr.dr.Jumraini, S.Ked. Sp.S, SubspN.R.E. (K).
Dia menjelaskan, satu abad sebelumnya, terjadi perkawinan antara Sultan Bone dengan Ratu Bone yang bernama Batari Toja Daeng Talaga. Tetapi dia tidak punya anak. Keduanya, bercerai. Batari Toja adalah anak dari La Patau Matanarika, keponakan Arung Palakka (La Tenritatta). Jadi cucu dari Arung Palakka dari saudara kandungnya Fatimah Batari Toja.
Hasil perkawinan La Patau Matanatika dengan putri Luwu bernama Datu Larompong melahirkan dua orang anak. Salah seorang di antaranya adalah Batari Toja Daeng Talaga itu yang kemudian menikah dengan Sultan Bima yang ada di lontarak Bone.
“Jadi, sebenarnya postur genealogis Bima-Sulawesi Selatan adalah dua hal yang penting relasinya Gowa dan Bone,” kunci Mukhlis Hadrawi.
Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa 10 April 1815, terdengar sejauh 360 km hingga ke Sulawesi Selatan. Letusan ini mengakibatkan, gunung yang tingginya 4.300m itu menyusut menjadi 2.851m. Letusan ini termasuk salah salah satu 100 bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Bencana ini menyebabkan 38.000 kematian di Pulau Sumbawa karena kelaparan, 10.000 orang lainnya karena penyakit dan kelaparan di Pulau Lombok. Namun ada yang memperkirakan 48.000 dan 44.000 orang meninggal di Sumbawa dan Lombok. Zollinger, salah seorang ilmuwan Belanda yang menghabiskan banyak waktu di Sumbawa dan menjadi orang pertama yang mendaki pasca-letusan Gunung Tambora menyebutkan, sekitar 11.000 orang menemui ajalnya di Bali dan Jawa Timur.
G.Tambora de ngan “belanga raksasa kawahnya” kini menjadi destinasi wisata alam yang menarik di Kabupaten Bima-Dompu. (*).