Warga Tikala, Barana’, dan Kandeapi disebut tidak pernah dilibatkan dalam proses perizinan, padahal dalam aturan, persetujuan masyarakat terdampak merupakan salah satu syarat pokok.
“Izin itu keluar tanpa melalui musyawarah dengan warga. Bahkan tokoh masyarakat Barana’, Pak Daud Sambo, juga membenarkan hal itu,” kata Prof. Agus.
Ia juga mengkritik kunjungan DLHK ke lokasi tambang yang terakhir dilakukan pada 2019 tanpa melibatkan warga. “Jangan cuma datang dan pulang bawa cerita yang manis-manis,” ucapnya.
Meski kecewa dengan hasil rapat, Prof. Agus tetap mengapresiasi inisiatif DLHK menggelar diskusi sebagai tindak lanjut aduan warga yang sebelumnya ramai diberitakan media.
Namun ia menegaskan, tanpa peninjauan lapangan dan penyelidikan prosedural, langkah tersebut belum cukup menjawab keresahan masyarakat.
Rapat daring yang digelar DLHK Sulsel berdasarkan undangan resmi nomor 005/528/DLHK itu menghadirkan lintas sektor, dari pejabat Pemprov hingga aparat penegak hukum. Namun bagi warga Tikala, transparansi dan keadilan dalam tata kelola izin tambang masih jauh dari harapan, Prof. Agus Salim, menandaskan. (Hdr)