“Lejja adalah wajah kita. Marwah kita. Jangan robek baju di dada, atau menepuk air di dulang. Kritik boleh, tapi jangan destruktif,” ungkapnya, mengutip peribahasa Bugis yang sarat makna politis.
Ia pun membuka jalur komunikasi langsung bagi masyarakat yang ingin menyampaikan saran atau kritik secara etis. “Silakan kirimkan masukan melalui WhatsApp ke +62 811-402-143. Kami siap mendengar,” tegasnya.
Terakhir, Jufri menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan yang mungkin terjadi di lapangan. “Kami sadar, sistem pengelolaan masih terus berproses. Mohon maaf atas khilaf kami. Doakan agar Lejja tetap lestari dan jadi kebanggaan kita bersama,” tuturnya.
TWA Lejja, yang dikenal dengan potensi air panas alaminya, berada dalam kawasan konservasi yang dikelola di bawah skema public-private partnership antara pemerintah dan PT Lamataesso Mattappaa.
Dengan meningkatnya perhatian publik, narasi ekowisata kini tak bisa lepas dari tekanan sosial digital. Dalam istilah politik, ini disebut sebagai bentuk e-citizenship pressure — kekuatan masyarakat sipil yang menekan melalui kanal virtual. (*)