Lebih lanjut, Bahar merinci, sebelum terbitnya SHGB 21970 pada 13 April 2015, telah terbit SHM No. 25952 atas nama Annie Gretha Warow. SHM tersebut kemudian dinyatakan salah letak oleh Polda Sulsel dalam penyelidikan tertanggal 26 Agustus 2022, karena terdaftar di Kilometer 20, bukan di Kilometer 18.
“Dokumen tersebut juga menyebutkan tanah berasal dari Persil 6 D1 Kohir 51 C1, padahal keduanya memiliki pemilik berbeda,” kata Bahar dengan nada kesal, di sebuah warung kopi dibilangan Perintis Kemerdekaan, Sabtu, 26 April 2025.
Lanjutnya, SHGB 21970 kemudian kembali diterbitkan pada 13 April 2016 dengan nama 54 ahli waris Tjonra Karaeng Tola sebagai pemegang hak.
“PT ICC tercatat membeli lahan seluas 32.561 meter persegi berdasarkan Akta Kesepakatan Jual Beli pada 2016,” ungkapnya.
Namun, ujar Bahar lagi, terdapat selisih data antara luas yang tercantum di akta dan SHGB. Pembayaran PBB oleh PT ICC pun mengalami perubahan drastis, dari Rp 59 juta untuk 57.500 m² pada 2016, turun menjadi hanya Rp 3,5 juta untuk 3.240 m² pada 2020 dan 2021.
Bahar menyebut perbedaan luas tanah dan besaran PBB tersebut memperkuat dugaan data yang digunakan dalam transaksi kepemilikan tanah oleh PT ICC bermasalah secara hukum dan administrasi.
“Pembangunan dan penguasaan lahan oleh Indogrosir Makassar berdiri di atas dokumen bermasalah, yang telah terbukti tidak identik, salah letak, dan patut diduga menggunakan data palsu,” tukasnya.
Lahan di KM 18, Jalan Perintis Kemerdekaan, saat jadi medan sengketa panas. Tapi kali ini, bukan cuma soal tumpang tindih sertifikat. Lebih dari itu, muncul dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan nama besar Indogrosir Makassar, Bahar, S.H., Kuasa Hukum Abdul Jalali Dg. Nai selaku ahli waris tanah Tjoddo, menandaskan. (Nuryadin)