Oleh : Andi Pasamangi Wawo (Ketua Dewan Penasehat PWI Sulsel)
ALHAMDULILLAH, di jaman digitalisasi ini media ‘daring’ bermunculan sangat pesat bagai cendawan tumbuh di musim penghujan.
Kemajuan teknologi ini otomatis melahirkan ribuan pewarta otodidak baru yang bernaung di sebaran media sosial tersebut.
Hebatnya, mereka mayoritas, langsung mengklaim dirinya sebagai WARTAWAN.
Hal ini tentu berdampak, pro dan kontra di kalangan masyarakat atas penampilan, ulah dan produknya.
Yang pro, karena mereka senang dengan kecepatan memperoleh informasi tanpa peduli penggunaan bahasa ‘jurnalistik’ di Indonesia yang menganut kalimat singkat, padat, dan mudah dimengerti. (Buku merah Rosihan Anwar, Red)
Yang kontra menilai masih banyak ‘keteteran’ baik dari narasi redaksi penggunaan kosa kata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Maupun, wawasan Pewarta dan Redakturnya tentang apa yang diberitakan medianya.
Begitu hasil pengamatan dan perbincangan saya dengan sejumlah pemangku kebijakan serta diskusi kecil dengan sejumlah karib di beberapa warkop yang sempat saya serap belakangan ini.
Sebagai Wartawan yang dianggap sudah banyak pengalaman oleh teman-teman, pertanyaan dan pernyataan ini sangat sering saya terima dan dengar. Tak jelas maksudnya, apakah atas kepedulian atau keingintahuannya tentang proses menjadi Wartawan dan kewartawanan itu sendiri.
Terus terang, saya senang karena profesi Wartawan ini sudah banyak dilirik, dipeduli dan diamati kalangan masyarakat dibanding dua jaman yang saya lalui sebelumnya ketika jadi Penyiar radio serta bekerja dan berkarya di media konvensional seperti cetak dan elektronik.
Jawaban saya selalu singkat sambil berkias saja, bahwa : “Semua yang namanya baru, biasanya, berlebihan di dalam kekurangannya”.