PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Persoalan pemberian izin tambang batuan (galian C) di Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, kini mengemuka.
Lembaga Pusat Kajian Advokasi Antikorupsi (PUKAT) Sulawesi Selatan mendorong Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan untuk segera turun tangan menyelidiki dugaan penyimpangan dalam proses perizinan tersebut.
Direktur PUKAT Sulsel, Farid Mamma, menyebut ada aroma ketidakberesan yang kental dalam proses penerbitan izin tambang di Tikala.
“Padahal dalam Perda RTRW Toraja Utara, wilayah Tikala tidak termasuk dalam kawasan peruntukan pertambangan. Ini seharusnya cukup jadi alarm,” kata Farid saat dihubungi media ini, Rabu, 30 April 2025.
Farid menyinggung pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan perubahannya dalam UU Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang secara eksplisit mewajibkan kesesuaian tata ruang sebagai prasyarat utama dalam penerbitan izin usaha pertambangan.
“Kalau wilayah itu bukan kawasan tambang berdasarkan RTRW, mengapa izin bisa keluar ?” ujarnya.
Polemik ini bermula dari protes warga Tikala dan sejumlah tokoh masyarakat yang mempersoalkan keberadaan aktivitas tambang batuan yang dijalankan oleh perusahaan berinisial CV. BD.
Mereka merujuk pada Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Toraja Utara tahun 2012–2032, yang tak mencantumkan Tikala sebagai kawasan pertambangan.
“Indikasi manipulasi dokumen bisa saja terjadi. Penyelidikan bisa dimulai dari verifikasi administrasi, proses rekomendasi, hingga apakah benar ada perubahan RTRW yang sah,” kata Farid.
Ia menambahkan, jika ditemukan adanya penerbitan izin di luar koridor hukum, maka bukan tak mungkin ada unsur pidana korupsi, gratifikasi, atau penyalahgunaan kewenangan.
Rektor Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Prof Agus Salim, menilai proses perizinan tambang di Tikala cacat secara prinsipil.
“Kalau Tikala bukan kawasan tambang menurut RTRW, ya izinnya otomatis cacat. Lalu kenapa CV. BD bisa memperoleh izin ?. Di sinilah perlu ditelusuri kemungkinan adanya kongkalikong,” ujarnya kepada pedomanrakyat.co.id.
Prof Agus juga menyebut, hal ini bisa menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan untuk menyelidiki kemungkinan adanya suap atau gratifikasi dalam pemberian izin.
“Kejaksaan tidak boleh menunggu laporan formal. Fakta hukum sudah cukup jadi dasar,” ujarnya.
Senada, akademikus Fakultas Hukum UKI Paulus Makassar, Jermias Rarsina, menyebut, aspek tata ruang dalam perizinan tambang adalah hal yang fundamental.
“Jika tata ruangnya tidak sesuai, maka izinnya tidak bisa dilanjutkan, apalagi jika itu menyangkut kawasan yang ditetapkan sebagai destinasi pariwisata,” ujar dia.
Fakta lainnya, kata Jermias, adalah adanya Surat Keputusan Bupati Toraja Utara Nomor 393/XI/2012 yang menetapkan Tikala sebagai kawasan objek wisata.
Di wilayah tersebut terdapat situs budaya Arca Batu dan rumah adat Tongkonan Marimbunna. “Kalau ada tambang di atas situs budaya, maka ini pelanggaran berat, bukan sekadar administratif,” katanya.
Jermias juga menyoroti kemungkinan terjadinya pengrusakan lingkungan akibat aktivitas tambang. Ia merujuk pada keluhan warga Tikala mengenai pencemaran sawah dan sumber air bersih akibat serbuk batu kapur dari proses penambangan.
“Analisis dampak lingkungan harus dilibatkan. Kalau benar terjadi pencemaran, maka ini masuk ranah hukum lingkungan dan bisa jadi alasan kuat untuk pencabutan izin,” ujarnya.
PUKAT Sulsel pun mendesak agar Kejaksaan menggandeng lembaga audit seperti BPK atau BPKP untuk menyelidiki kemungkinan kerugian negara akibat penerbitan izin tambang di luar peruntukan.
Farid juga meminta dilakukan audit independen terhadap proses perizinan dan penetapan kawasan tambang di Tikala.
“Kalau terbukti izin dikeluarkan di wilayah yang tak sesuai tata ruang, maka jelas ada pelanggaran hukum. Penegak hukum wajib mengusut siapa yang menerbitkan, atas dasar apa, dan apakah ada kepentingan pribadi di baliknya,” kata Farid. (Hdr)