Persidangan kemarin menjadi titik ledak emosi Ernita. Ia menangis terbata-bata ketika menceritakan, jaksa dan majelis hakim justru menggiring pembahasan ke arah kehidupan pribadinya.
Bahkan sempat ditawarkan restitusi sebagai bentuk penyelesaian. “Kami bukan cari uang. Kami cari keadilan. Anak saya itu penyandang disabilitas. Apa tidak ada nurani melihatnya ?,” tanyanya dengan suara bergetar.
Restitusi memang lazim diberikan sebagai kompensasi dalam kasus kejahatan seksual, tapi dalam kasus seperti ini, banyak yang menilai itu tidak cukup.
Pengacara senior dari Makassar, Firman, SH, mengecam pendekatan hukum yang dinilai lunak. Ia menegaskan, kasus ini seharusnya dikenai pasal berlapis dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan KUHP.
“Ini pelanggaran berat. Ada penyandang disabilitas sebagai korban dan ada dugaan upaya suap. Ini bukan perkara yang bisa diselesaikan dengan uang ganti rugi,” tegas Firman.
Firman juga menyoroti kerentanan perempuan disabilitas terhadap kekerasan seksual yang belum mendapat perlindungan hukum memadai.
“Mereka yang paling rentan, tapi seringkali justru yang paling diabaikan,” ujarnya.
Kini, publik menanti bagaimana lembaga peradilan menanggapi kasus ini. Di tengah berbagai desakan masyarakat sipil dan perhatian media, ruang sidang Barru menjadi panggung ujian, bukan hanya bagi para penegak hukum, tetapi bagi nurani keadilan itu sendiri, Pengacara senior dari Makassar, Firman, SH, menandaskan. (Hdr)