PEDOMANRAKYAT, BARRU – Air mata Ernita tumpah di ruang sidang Pengadilan Negeri Barru, Sulawesi Selatan, Selasa siang, 06 Mei 2025.
Ia bukan hanya menangisi nasib putrinya, AA, seorang remaja perempuan penyandang disabilitas ganda yang menjadi korban kekerasan seksual. Ia juga menangisi wajah keadilan yang baginya terasa ganjil.
AM, pria lanjut usia berusia 71 tahun, duduk di kursi terdakwa atas dugaan pencabulan terhadap AA, 19 tahun, yang secara mental hanya setara anak usia dua tahun.
Kasus ini mencuat setelah kejadian memilukan pada 20 Agustus 2024 lalu, di sebuah salon kecil di kawasan Pasar Pekkae, Barru.
AA tengah tertidur di sebuah kamar lantai satu saat AM masuk, berpura-pura hendak ke kamar mandi, lalu diduga melakukan tindakan pelecehan seksual.
Aksinya dipergoki langsung oleh seorang karyawan salon. Ernita, yang saat itu mendengar kegaduhan, bergegas masuk dan mendapati putrinya dalam kondisi dilecehkan.
“Saya langsung syok, tapi yang lebih menyakitkan, pelaku malah menawarkan uang Rp 700 ribu agar kami diam,” ujar Ernita kepada wartawan seusai persidangan.
Keluarga korban menolak tawaran itu dan melaporkan AM ke Polres Barru. Namun, selama enam bulan proses hukum berjalan, pelaku tidak pernah ditahan dan hanya dikenai wajib lapor.
Perlakuan aparat itulah yang membuat Ernita merasa ada yang tak beres. “Sidangnya aneh. Kami yang seolah diadili, bukan pelakunya,” ucapnya lirih.
Persidangan kemarin menjadi titik ledak emosi Ernita. Ia menangis terbata-bata ketika menceritakan, jaksa dan majelis hakim justru menggiring pembahasan ke arah kehidupan pribadinya.
Bahkan sempat ditawarkan restitusi sebagai bentuk penyelesaian. “Kami bukan cari uang. Kami cari keadilan. Anak saya itu penyandang disabilitas. Apa tidak ada nurani melihatnya ?,” tanyanya dengan suara bergetar.
Restitusi memang lazim diberikan sebagai kompensasi dalam kasus kejahatan seksual, tapi dalam kasus seperti ini, banyak yang menilai itu tidak cukup.
Pengacara senior dari Makassar, Firman, SH, mengecam pendekatan hukum yang dinilai lunak. Ia menegaskan, kasus ini seharusnya dikenai pasal berlapis dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan KUHP.
“Ini pelanggaran berat. Ada penyandang disabilitas sebagai korban dan ada dugaan upaya suap. Ini bukan perkara yang bisa diselesaikan dengan uang ganti rugi,” tegas Firman.
Firman juga menyoroti kerentanan perempuan disabilitas terhadap kekerasan seksual yang belum mendapat perlindungan hukum memadai.
“Mereka yang paling rentan, tapi seringkali justru yang paling diabaikan,” ujarnya.
Kini, publik menanti bagaimana lembaga peradilan menanggapi kasus ini. Di tengah berbagai desakan masyarakat sipil dan perhatian media, ruang sidang Barru menjadi panggung ujian, bukan hanya bagi para penegak hukum, tetapi bagi nurani keadilan itu sendiri, Pengacara senior dari Makassar, Firman, SH, menandaskan. (Hdr)