Berkat keyakinannya pada cerita dan kekuatan kata-kata, ia tidak pernah menyerah. Kini, kisah Harry Potter telah menjadi salah satu waralaba buku dan film paling sukses sepanjang sejarah, dan Rowling dikenal sebagai salah satu penulis paling berpengaruh di dunia.
Cerita itu sebagai bukti bahwa menulis telah menjadi ruang kontemplasi dan aktualisasi. Lewat tulisan, kita belajar mendengarkan suara hati, menangkap keresahan, dan menyusunnya menjadi narasi yang bisa dibaca orang lain.
Setiap buku yang terbit adalah saksi perjalanan batin dan pemikiran. Bukan sekadar tumpukan huruf dan halaman, tapi jejak yang semoga bisa memberi makna bagi orang lain.
Di tengah arus informasi digital dan dominasi media sosial, buku menawarkan sesuatu yang mulai langka. Bukan hanya untuk dikonsumsi cepat lalu dilupakan, melainkan untuk direnungkan, dibaca ulang, dan bahkan dijadikan referensi.
Buku juga menciptakan hubungan yang lebih intim antara penulis dan pembaca. Tidak jarang, seseorang merasa menemukan dirinya dalam tulisan orang lain, itulah kekuatan sejati dari sebuah buku.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa menulis buku bukan hanya soal ekspresi pribadi, tetapi juga bentuk tanggung jawab intelektual dan sosial.
Buku dapat menyuarakan nilai, pengalaman, bahkan perlawanan yang mungkin tidak mendapat ruang di media lain. Ia menyimpan memori zaman, menjadi arsip pemikiran, dan bisa menjadi obor pengetahuan lintas generasi.
Hari Buku Nasional seharusnya menjadi ruang refleksi kolektif bahwa menulis bukanlah hak istimewa segelintir orang. Setiap orang memiliki cerita, pengalaman, dan pemikiran yang layak dibagikan. Tidak perlu menunggu sempurna untuk mulai menulis.
Saya pun memulai dari nol, dari rasa ragu, dari tulisan-tulisan yang mungkin terlihat biasa saja. Namun, dengan keberanian, kata-kata itu bertumbuh menjadi kalimat, paragraf, lalu membiak jadi karya buku.
Mari rayakan Hari Buku Nasional bukan hanya dengan wacana, tetapi dengan aksi nyata. Siapa tahu, lima tahun dari sekarang, Anda pun akan merayakan buku ke-30 Anda sendiri. Sebab ketika kata-kata dirawat dengan ketulusan, maka makna pun akan lahir dan abadi lebih lama dari usia penulisnya. (*)