PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Hari itu, udara di lorong sempit Jalan Maccini Gusung Setapak 8 terasa lebih pengap dari biasanya.
Di dalam rumah mungil berukuran 3×5 meter, Muhammad Raja Afnan terbaring kaku. Bocah 15 tahun itu pergi dengan menyisakan tanya dan duka yang membekas dalam.
Tak ada yang menyangka akhir hidup Afnan akan seperti ini. Di lingkungan tempat tinggalnya, Afnan dikenal sebagai anak yang tidak neko-neko. Pendiam, sopan, dan rajin membantu.
“Kalau azan, dia selalu duluan ke masjid,” kenang Ibu Nita, tetangga yang sehari-hari melihat Afnan tumbuh.
Namun dua hari sebelum ajal menjemput di Rumah sakit Islam Faisal, Afnan mulai mengeluh. Kepada ayahnya, Ical, ia bercerita soal pengeroyokan yang dialaminya.
Tiga orang, begitu katanya, sambil mengangkat tiga jari. Luka mulai tampak dibelakang samping ketiak seperti terbakar sundutan rokok, dan sobekan baju.
Awalnya, Afnan diduga terserang demam berdarah. Namun setelah dirawat, dokter mulai curiga. Luka-luka itu tak lazim, tidak cocok dengan gejala yang biasa menyertai penyakit tersebut. Ia juga sempat mengeluh pusing hebat kepada neneknya.
“Tapi dia tidak bilang ke saya. Katanya takut,” ujar sang ibu, Katrina.