Prof. Dr. Ansar Arifin, MS : Enam Mata Rantai Utama Relasi Pinggawa Sawi Ciptakan Perangkap Kemiskinan

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Prof. Dr. Ansar Arifin, MS dalam penelitiannya pada beberapa wilayah pulau-pulau dan pesisir Sulawesi Selatan mengungkap, relasi pinggawa-sawi menciptakan perangkap kemiskinan melalui enam mata rantai utama.

“Pertama, kemiskinan dan rendahnya pendapatan. Pekerjaan nelayan bersifat tunggal dan berpenghasilan rendah. Tanpa deversifikasi pendapatan, mereka bergantung pada pinjaman dari pinggawa, menciptakan relasi utang-piutang yang memperkuat dominasi pemodal,” ujar Prof.Dr. Ansar Arifin, MS dalam pidato Pengukuhan dan Penerimaan sebagai Anggota Dewan Profesor dalam Bidang Ilmu Antropologi Maritim, Departemen Antropologi FISIP Unhas di Ruang Senat Unhas Kampus Tamalanrea, Selasa (17/6/2025).

Putra mendiang Prof. Dr. M. Arifin Sallatang ini dalam Rapat Paripurna Senat Akademik Unhas yang dipimpin Ketua-nya Prof. Dr. Bahruddin Thalib, drg, M.Kes, Sp.Pros(K) menyampaikan pidato berjudul “Trojan Altruism dan Hegemoni Pinggawa-Sawi dalam Perspektif Struktur Aktor”.

Selain Prof. Ansar Arifin, juga menyampaikan pidato serupa tiga Guru Besar FIB Unhas masing-masing: Prof. Dr. Andi Muhammad Akhmar, SS, M.Hum, Prof. Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum, dan Prof. Dr. Munira Hasjim, SS, M.Hum.

Kedua, kata Prof. Ansar Arifin, rendahnya pendidikan. Anggapan bahwa bekerja lebih penting daripada sekolah menjadikan partisipasi pendidikan rendah. Pendidikan tidak dianggap menjanjikan, sehingga generasi muda tetap terjebak dalam pola pekerjaan yang sama.

“Ketiga, kerawanan dan risiko kerja. Melaut penuh risiko, namun minim perlindungan asuransi. Dalam praktiknya, pinggawa berfungsi sebagai penyedia jaminan sosial informal, yang sekaligus memperkuat relasi ketergantungan,” ujar S-1 Program Studi Antropologi Unhas 1987 tersebut.

Putra pasangan Prof. Dr. H.M. Arifin Sallatang (alm)-Dra.Hj.St. Aminah Ta’ruf (almh) tersebut menyebutkan, mata rantai utama keempat, kelemahan fisik dan kesehatan. Jam kerja tidak menentu, pola makan buruk, dan cuaca ekstrem membuat nelayan rentan secara fisik dan kesehatan, sehingga berdampak pada produktivitas mereka.

Baca juga :  FKLA Sulsel Gelar Diklat Jurnalistik, Wahyuddin Naro : Berita Yes, Opini No !

“Kelima, minimnya alternatif pekerjaan. Keterampilan yang terbatas menjadikan mereka sulit beralih ke sektor lain. Ketergantungan total pada laut mempersempit pilihan untuk bertahan hidup,” kata Magister Unhas (1991) dan Doktor Sosiologi Universitas Negeri Makassar (2012) ini.

Ketua Program Studi S-3 Antropolodi FISIP Unhas (2019-2022) ini mengatakan, mata rantai utama keenam, adalah isolasi sosial. Kehidupan nelayan terpinggirkan dari jaringan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Nelayan kesulitan membangun koneksi ke sumber daya eksternal, sehingga memperkuat batasan struktur dalam mengakses peluang kesejahteraan (keterkungkungan struktural).

“Enam mata rantai utama ini memperlihatkan bagaimana struktur sosial pinggawa-sawi memfasilitasi eksploitasi sistematis. Ketimpangan ini hanya bisa diputus melalui intervensi sosial-ekonomi yang mampu menembus dan mentgransformasi struktur yang mengikat mereka,” kata Ansar Arifin kemudian menambahkan, tanpa itu, kemiskinan nelayan akan terus berlangsung lintas generasi, memperlemah posisi mereka dalam sistem ekonomi maritim nasional.

Ansar Arifin mengakui, setelah bertahun-tahun meneliti realitas kehidupan nelayan, muncul kegelisahan akademik terhadap persoalan sosial, budaya, dan ekonomi yang tak kunjung terselesaikan. Banyak kajian berhenti sebagai momentum akademik tanpa solusi nyata. Dominasi pendekatan positivistik dan analisis struktural klasik justru melanggengkan status-quo, menjadikan kemiskinan nelayan seolah wajar dan tak terhindarkan.

Pendekatan struktural-fungsional dan konstruksi sosial telah lama digunakan dalam memahami relasi pinggawa-sawi, yang menempatkan posisi nelayan sawi cenderung menerima posisi subordinat dengan pasrah.

“Perspektif Bourdieu tentang modal ekonomi, sosial, dan budaya mengungkap bahwa harmoni relasi patron-klien sebenarnya menyembunyikan dominasi yang menguntungkan pihak pinggawa. Sekuritas sosial, ‘bonding social capital’ (hubungan yang erat dan kuat antara individu-individu dalam kelompok yang sama atau komunitas yang homogen) dan ‘pseudo-kinship’ (menggambarkan hubungan sosial yang menyerupai hubungan kekerabatan atau keluarga, tetapi tidak berdasarkan hubungan darah atau pernikahan) menciptakan ketergantungan yang tidak hanya ekonomi, tetapi juga psikologis. Relasi ini diterima sebagai kewajaran atau sebuah bentuk ‘doxa’ (menggambarkan pengetahuan, kepercayaan, atau opini yang diterima secara luas dan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat atau kelompok tertentu) dalam istilah Boudieu,” beber Ansar Arifin mengutip “Outline of a Theory of Practice” yang ditulis Piere Bourdieu yang diterbitkan Cambridge University Press, London tahun 1977.

Baca juga :  Korban Selamat Longsor Palangka dan Pangra'ta Berangsur Pulih

Ansar Arifin mengatakan, fenomena ini menunjukkan, sistem pinggawa-sawi adalah bentuk interdependensi yang sarat penguasaan. Pingawa mengontrol sumber daya produksi, distribusi alat tangkap, dan akses pasar, menjadikan sawi terjebak dalam kemiskinan struktural dan posisi tawar rendah. Hambatan yang mereka alami bukan semata karena keterbatasan keterampilan, melainkan karena sistem struktural yang mengekang monilitas mereka.

“Upaya mengatasi kemiskinan nelayan menuntut keterbukaan akademisi dan praktisi untuk mengembangkan pendekatan kontekstual solutif dan transformatif. Kajian akademik harus melampaui pendeskripsian menuju rekomendasi kebijakan yang aplikatif dan mampu mendorong perubahan struktur sosial. Paradigma penelitian perlu bergeser dari sekadar analisis struktural menuju aksi sosial yang konkret dengan menempatkan komunitas nelayan sebagai subjek perubahan yang memiliki kapasitas guna memperbaiki nasibnya melalui dukungan kebijakan yang tepat, berkeadilan, dan sistematis,” kunci Prof. Ansar Arifin yang merupakan Profesor ke-589 Universitas Hasanuddin. (mda)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Direktur LBH Tana Luwu Minta Kapolda Sulsel Bertindak: Tangkap Kelompok Kriminal Bermotor Yang Mengancam Mahasiswa di Makassar

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tana Luwu, Hasmin Suleman, SH, MH, secara tegas mendesak Kapolda...

Muliawan Adyakza Makmur, Menyatukan Pemuda Palopo, Merawat Harapan Kota

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Di sebuah kota pesisir Sulawesi Selatan yang perlahan bergeliat menjawab tantangan zaman, muncul sosok muda...

Nuryadin, Calon Ketua KNPI Palopo Ajak Pemuda Berkontribusi Pada Pembangunan Di Daerahnya

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR -- Pemuda dituntut mampu menjawab setiap tantangan yang ada, khususnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai generasi...

Adakan Rapat Perdana, Ini Penegasan Ketua PGRI Sinjai

PEDOMANRAKYAT, SINJAI -- Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Sinjai Kepengurusan periode 2025–2030 menggelar Rapat Kerja perdana di...