Lusin menilai bahwa inkonsistensi dalam tafsir konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dapat mengakibatkan perubahan regulasi pemilu yang terus-menerus, tergantung pada konteks politik dan penyelenggaraan pemilu saat itu. Padahal, menurutnya, banyak persoalan teknis dalam pemilu yang seharusnya dapat diselesaikan melalui peraturan pelaksana, tanpa harus menempuh judicial review ke MK.
Ia juga menyoroti bahwa regulasi tentang pemilu di Indonesia adalah salah satu regulasi yang paling sering direvisi dan diuji materiil di Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan lemahnya konsistensi dalam penyusunan undang-undang pemilu, baik dari sisi kualitas maupun efektivitas.
“Putusan MK ini akan berdampak besar terhadap aturan turunan, karena perubahan dari skema lima kotak suara menjadi dua pemilu terpisah (nasional dan daerah) mengharuskan revisi Undang-Undang Pemilu. Lembaga legislatif memiliki pekerjaan besar untuk menyesuaikan regulasi pemilu dan pilkada agar selaras,” katanya.
Lusin menegaskan lagi, pembuat kebijakan harus segera mengevaluasi metode penyelenggaraan pemilu yang baru ini dan memastikan agar revisi undang-undang pemilu masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), serta diselaraskan dengan Undang-Undang Pilkada dan peraturan teknis lainnya. (*)