*Anak Nakal yang Diam-Diam Jenius*
Di mata guru-gurunya, Ucok juga bukan anak biasa. Ia sering tidak masuk sekolah. Wali kelas kerap menghubungi Makmur karena keberadaannya tidak jelas. Tapi bukan karena nakal atau malas. Kadang, Ucok hanya ingin menghilang sejenak dari dunia.
“Saya pernah cari ke TPA, tidak ada. Mamanya juga bilang sudah pergi. Rupanya dia tidur di rumah, membungkus tubuhnya dengan kasur agar tidak diganggu. Pernah juga dia sembunyi di dalam lemari,” kenang Makmur.
Tapi di balik kenakalan itu, Ucok adalah **pembaca rakus**. Buku apapun yang ditemukan di sampah akan ia baca sampai tuntas. Novel, komik, bahkan buku pelajaran yang robek dan lusuh. Di situlah mental belajar otodidaknya terbentuk—dengan cara yang tak bisa diajarkan oleh bangku sekolah manapun.
*Mengubah Takdir, Diam-diam Daftar Kuliah*
Setelah lulus SMA, Ucok kembali membuat kejutan. Ia diam-diam mendaftar kuliah di **Universitas Hasanuddin (Unhas)**, tanpa memberitahu siapa pun, bahkan keluarganya. Baru setelah dinyatakan lulus dan resmi menjadi mahasiswa, ia memberi tahu ibunya, Daeng Rimang, dan kakaknya.
Bagi seorang anak pemulung dari TPA Antang, menembus Unhas bukan sekadar lompatan pendidikan itu adalah lompatan eksistensial. Ia tidak hanya menolak menyerah pada garis nasib, tapi juga menulis ulang definisi tentang siapa yang layak duduk di ruang akademik.
*Lebih dari Sekadar Nama Viral*
Kini, ketika media sosial ramai memberitakan tentang aksi heroiknya di Gunung Rinjani, Agam Rinjani tak pernah berubah. Ia tetap Ucok yang rendah hati, yang dulu membersihkan buku dari sampah dan menolak dibatasi oleh stigma. Namanya memang viral, tapi perjalanan hidupnya jauh lebih dalam dari sekadar trending topic.
“Ucok adalah tamparan untuk sistem yang gagal melihat potensi anak-anak marjinal. Dari tumpukan sampah ia tumbuh, bukan sebagai korban, tapi sebagai pembebas,” tegas Makmur.
*Menerangi Jalan yang Gelap*
Kisah Agam Rinjani adalah refleksi keras dari realitas sosial kita. Ia menunjukkan bahwa keberanian tidak selalu lahir dari keberuntungan, dan pendidikan sejati sering kali tumbuh di luar kelas. Ia bukan hanya penyelamat satu pendaki asing, tapi bisa jadi penuntun bagi ribuan anak Indonesia yang sedang tersesat di gelapnya kemiskinan, pengabaian, dan ketidakadilan struktural.
Jika kelak Agam Rinjani berdiri sebagai pemimpin, jangan heran. Ia telah lebih dulu memimpin dirinya sendiri menembus batas takdir yang dipaksakan. Ia bukan hanya mendaki gunung, tapi juga mendaki hidup. (*/And)