PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Di tengah hiruk-pikuk jagat maya, satu nama kembali menggema, "Agam Rinjani, atau akrab disapa Ucok. Aksinya yang nekat dan heroik dalam mengevakuasi Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang mengalami cedera di Gunung Rinjani, menyedot perhatian publik nasional dan internasional.
Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik nama yang kini identik dengan keberanian dan pengabdian itu, tersimpan kisah getir, jenaka, sekaligus monumental tentang bagaimana anak pemulung bisa menjelma menjadi simbol perubahan.
Bagi Makmur Payabo, Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar, Agam bukanlah sekadar berita viral atau tokoh sesaat. Ia adalah anak jalanan yang dilahirkan dalam kerasnya tumpukan sampah, namun tumbuh menjadi pemuda tangguh yang belajar berpikir dengan hati dan bertindak dengan nyali.
Makmur mengenal Ucok sejak masih sangat kecil. Saat itu, Makmur aktif mendampingi anak-anak pemulung di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang, Makassar, bersama Yayasan Pabbata Ummi (Yapta-U). Dari situlah, hubungan keduanya terjalin. Hubungan yang tidak sekadar pendamping dan dampingan, tapi seperti keluarga dalam ikatan perjuangan.
*Merakit Perpustakaan dari Sampah, Ketika Mimpi Tak Perlu Modal*
Salah satu kisah paling mengesankan tentang Ucok terjadi saat Yapta-U berinisiatif mendirikan Sanggar Kegiatan Warga (SKW) di TPA Antang. Saat ide membangun perpustakaan muncul, semua orang terdiam. Tak ada buku, tak ada rak, apalagi dana. Tapi Ucok punya cara berpikir lain.
Tanpa banyak bicara, ia mulai mengumpulkan buku-buku bekas dari tempat sampah. Tak peduli sobek, kotor, atau hampir hancur, buku-buku itu ia bawa pulang, dibersihkan, dan disusun. Setiap hari ia melakukannya, hingga satu per satu lemari di SKW terisi. Lahirlah sebuah perpustakaan mini dari tangan bocah pemulung, tanpa proposal, tanpa donatur, hanya dengan tekad.
“Dia itu anak yang unik. Tidak banyak omong, tapi pikirannya jauh ke depan. Aksinya selalu konkret,” tutur Makmur dengan mata berkaca-kaca.
*Ucok, Si Berani Tanpa Ragu*
Ucok dikenal di komunitas bukan hanya karena kerja sunyinya, tapi juga keberaniannya. Ia beberapa kali diundang mengikuti pelatihan anak nasional, bahkan hingga ke Jawa dan Bali. Tapi karena keterbatasan biaya, ia berangkat sendirian, tanpa pendamping.
“Waktu mau ke Jawa, dia cuma minta diantar ke bandara. Dia bilang, ‘Nanti saya kabari kalau mau pulang ke Makassar. 'Anak seusia itu, pergi naik pesawat sendiri, tinggal di kota besar, dan tidak pernah sekalipun membuat masalah. Luar biasa,” ungkap Makmur, di Kantor DP3A Makassar, Kamis (3/7/2025).
Namun, bukan berarti tanpa cerita lucu. Dalam Kongres Anak Nasional di Bali, Ucok sempat membuat panitia heboh karena berenang tengah malam dan mengajak peserta dari provinsi lain. Tamu hotel sempat mengeluh, tapi Ucok tidak merasa bersalah. “Katanya, mumpung di hotel besar, kolamnya bagus,” ujar Makmur sambil tertawa.
Program wajib minum susu dua kali sehari juga menjadi mimpi buruk bagi Ucok. Ia muntah-muntah karena tidak terbiasa. Sepulang dari Bali, Ucok harus dirawat di rumah sakit selama 12 hari hanya karena susu.
*Anak Nakal yang Diam-Diam Jenius*
Di mata guru-gurunya, Ucok juga bukan anak biasa. Ia sering tidak masuk sekolah. Wali kelas kerap menghubungi Makmur karena keberadaannya tidak jelas. Tapi bukan karena nakal atau malas. Kadang, Ucok hanya ingin menghilang sejenak dari dunia.
“Saya pernah cari ke TPA, tidak ada. Mamanya juga bilang sudah pergi. Rupanya dia tidur di rumah, membungkus tubuhnya dengan kasur agar tidak diganggu. Pernah juga dia sembunyi di dalam lemari,” kenang Makmur.
Tapi di balik kenakalan itu, Ucok adalah **pembaca rakus**. Buku apapun yang ditemukan di sampah akan ia baca sampai tuntas. Novel, komik, bahkan buku pelajaran yang robek dan lusuh. Di situlah mental belajar otodidaknya terbentuk—dengan cara yang tak bisa diajarkan oleh bangku sekolah manapun.
*Mengubah Takdir, Diam-diam Daftar Kuliah*
Setelah lulus SMA, Ucok kembali membuat kejutan. Ia diam-diam mendaftar kuliah di **Universitas Hasanuddin (Unhas)**, tanpa memberitahu siapa pun, bahkan keluarganya. Baru setelah dinyatakan lulus dan resmi menjadi mahasiswa, ia memberi tahu ibunya, Daeng Rimang, dan kakaknya.
Bagi seorang anak pemulung dari TPA Antang, menembus Unhas bukan sekadar lompatan pendidikan itu adalah lompatan eksistensial. Ia tidak hanya menolak menyerah pada garis nasib, tapi juga menulis ulang definisi tentang siapa yang layak duduk di ruang akademik.
*Lebih dari Sekadar Nama Viral*
Kini, ketika media sosial ramai memberitakan tentang aksi heroiknya di Gunung Rinjani, Agam Rinjani tak pernah berubah. Ia tetap Ucok yang rendah hati, yang dulu membersihkan buku dari sampah dan menolak dibatasi oleh stigma. Namanya memang viral, tapi perjalanan hidupnya jauh lebih dalam dari sekadar trending topic.
“Ucok adalah tamparan untuk sistem yang gagal melihat potensi anak-anak marjinal. Dari tumpukan sampah ia tumbuh, bukan sebagai korban, tapi sebagai pembebas,” tegas Makmur.
*Menerangi Jalan yang Gelap*
Kisah Agam Rinjani adalah refleksi keras dari realitas sosial kita. Ia menunjukkan bahwa keberanian tidak selalu lahir dari keberuntungan, dan pendidikan sejati sering kali tumbuh di luar kelas. Ia bukan hanya penyelamat satu pendaki asing, tapi bisa jadi penuntun bagi ribuan anak Indonesia yang sedang tersesat di gelapnya kemiskinan, pengabaian, dan ketidakadilan struktural.
Jika kelak Agam Rinjani berdiri sebagai pemimpin, jangan heran. Ia telah lebih dulu memimpin dirinya sendiri menembus batas takdir yang dipaksakan. Ia bukan hanya mendaki gunung, tapi juga mendaki hidup. (*/And)