Salah satu yang menarik perhatian adalah seni tenun tradisional yang masih dilestarikan oleh para ibu-ibu di kaki gunung Bawakaraeng. Motif kain tenun mereka mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat pegunungan: kesederhanaan, kekeluargaan, dan keteguhan.
“Kami menenun bukan hanya untuk ekonomi, tapi juga menjaga warisan. Setiap helai benang punya cerita,” ujar Ibu Mardiyah, seorang perajin tenun yang kerap menjajakan karyanya di pasar tradisional Malino.
Beautiful Malino: Perayaan Alam dan Budaya
Setiap tahunnya, pesona Malino dirayakan dalam gelaran Beautiful Malino, sebuah festival budaya dan pariwisata yang digagas Pemerintah Kabupaten Gowa. Ribuan pengunjung memadati kota kecil ini untuk menikmati pertunjukan seni, pameran UMKM, hingga parade budaya dari berbagai komunitas lokal.
Acara ini bukan hanya menjadi magnet wisata, tapi juga wadah pelestarian budaya sekaligus etalase kreativitas anak muda Malino.
“Beautiful Malino adalah cara kami memperkenalkan kampung halaman kepada dunia, tanpa kehilangan jati diri,” kata Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan, dalam salah satu sambutannya di festival tahun lalu.
Harmoni yang Menyatu
Malino bukan sekadar tujuan wisata. Ia adalah tempat di mana kabut pagi, semilir angin, aroma teh, dan alunan doa-doa adat berpadu dalam simfoni yang indah. Alam dan budaya di sini tidak berdiri sendiri, melainkan saling menguatkan. Keduanya menjadi wajah sejati Malino tenang, kuat, dan memikat.
Di akhir hari, saat matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan, Malino mengajarkan kita satu hal: bahwa keindahan sejati adalah tentang menjaga, merawat, dan mencintai apa yang sudah ada alam, budaya, dan warisan leluhur. (And)