Oleh: Hasyim Ashari
PEDOMANRAKYAT, Malino, Gowa — Di balik selimut kabut yang memeluk pegunungan dan hembusan angin sejuk yang setia menyapa sepanjang hari, Malino menyimpan lebih dari sekadar pesona alam. Kota kecil yang terletak sekitar 70 kilometer dari Kota Makassar ini adalah panggung hidup bagi harmoni budaya dan keelokan alam yang tak lekang oleh waktu.
Dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Sulawesi Selatan, Malino bukan hanya tempat pelarian dari panasnya kota, tetapi juga ruang perjumpaan antara manusia dan tradisi. Di tengah hijaunya perkebunan teh dan rimbunnya hutan pinus, denyut kehidupan masyarakat lokal tetap berpijak pada akar budaya yang kuat.
Kesejukan Alam yang Menyapa Jiwa
Begitu memasuki kawasan Malino, pengunjung disambut hamparan lanskap yang menenangkan mata. Pepohonan pinus menjulang tinggi di kanan-kiri jalan, mengantar kita menuju spot-spot ikonik seperti Air Terjun Takapala dan Lembah Biru. Udara di sini segar alami, jauh dari polusi dan kebisingan kota.
Tidak jauh dari pusat kota, perkebunan teh Malino menawarkan panorama hijau yang memesona. Para petani lokal tampak sibuk memetik pucuk-pucuk daun teh di pagi hari, melanjutkan warisan turun-temurun yang menjadi denyut ekonomi warga.
"Setiap hari kami hidup berdampingan dengan alam. Teh ini bukan hanya tanaman, tapi juga bagian dari hidup kami," tutur Daeng Tika, seorang petani teh yang telah bekerja di kebun sejak remaja.
Jejak Budaya yang Masih Terawat
Malino juga dikenal sebagai tempat tinggal komunitas masyarakat adat yang masih melestarikan nilai-nilai budaya leluhur. Upacara adat seperti accera (syukuran panen) dan mappalili (ritual sebelum musim tanam) masih rutin digelar, mengukuhkan Malino sebagai salah satu kawasan yang tidak melupakan identitas budaya di tengah modernisasi.
Salah satu yang menarik perhatian adalah seni tenun tradisional yang masih dilestarikan oleh para ibu-ibu di kaki gunung Bawakaraeng. Motif kain tenun mereka mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat pegunungan: kesederhanaan, kekeluargaan, dan keteguhan.
"Kami menenun bukan hanya untuk ekonomi, tapi juga menjaga warisan. Setiap helai benang punya cerita," ujar Ibu Mardiyah, seorang perajin tenun yang kerap menjajakan karyanya di pasar tradisional Malino.
Beautiful Malino: Perayaan Alam dan Budaya
Setiap tahunnya, pesona Malino dirayakan dalam gelaran Beautiful Malino, sebuah festival budaya dan pariwisata yang digagas Pemerintah Kabupaten Gowa. Ribuan pengunjung memadati kota kecil ini untuk menikmati pertunjukan seni, pameran UMKM, hingga parade budaya dari berbagai komunitas lokal.
Acara ini bukan hanya menjadi magnet wisata, tapi juga wadah pelestarian budaya sekaligus etalase kreativitas anak muda Malino.
"Beautiful Malino adalah cara kami memperkenalkan kampung halaman kepada dunia, tanpa kehilangan jati diri," kata Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan, dalam salah satu sambutannya di festival tahun lalu.
Harmoni yang Menyatu
Malino bukan sekadar tujuan wisata. Ia adalah tempat di mana kabut pagi, semilir angin, aroma teh, dan alunan doa-doa adat berpadu dalam simfoni yang indah. Alam dan budaya di sini tidak berdiri sendiri, melainkan saling menguatkan. Keduanya menjadi wajah sejati Malino tenang, kuat, dan memikat.
Di akhir hari, saat matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan, Malino mengajarkan kita satu hal: bahwa keindahan sejati adalah tentang menjaga, merawat, dan mencintai apa yang sudah ada alam, budaya, dan warisan leluhur. (And)