“Jangan sampai masyarakat melihat hukum hanya tajam ke bawah. Anggaran ART itu bersumber dari uang rakyat. Bila ada indikasi penyimpangan, siapa pun pelakunya harus bertanggung jawab secara hukum,” tegasnya.
ACC Sulawesi juga menyerukan agar Kejati membuka ruang bagi partisipasi publik. Mereka menilai keterlibatan masyarakat dalam mengawal proses hukum bisa menjadi alat kontrol agar penanganan perkara tidak terdistorsi oleh kepentingan politik atau tekanan dari elite lokal.
Di balik tuntutan tersebut, isu soal dugaan penyelewengan anggaran dalam kegiatan rumah tangga DPRD Tana Toraja memang mulai menyeruak sejak akhir 2024.
Sejumlah sumber menyebut adanya kejanggalan dalam laporan pertanggungjawaban kegiatan, termasuk indikasi penggelembungan anggaran dan pelaksanaan kegiatan fiktif. Namun sejauh ini belum ada konfirmasi resmi dari Sekretariat DPRD maupun pihak penyidik.
Upaya media ini untuk meminta keterangan kepada pimpinan DPRD dan pejabat Sekretariat DPRD Tana Toraja juga belum membuahkan hasil. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada satu pun pernyataan resmi yang dikeluarkan.
Soetarmi menyatakan penyelidikan masih berjalan dan Kejati berkomitmen menuntaskan perkara ini sesuai prosedur.
“Kami terus mengumpulkan bahan keterangan. Jika alat bukti sudah terpenuhi, tentu akan kami tingkatkan,” katanya.
Meski belum melangkah ke penyidikan, ACC Sulawesi berharap Kejati tidak menunggu tekanan publik lebih besar untuk bertindak.
“Kejaksaan punya kewenangan penuh menindak. Jangan sampai publik melihat ada perlakuan istimewa karena yang diperiksa berasal dari lingkungan kekuasaan lokal,” ujar Kadir.
Kasus dugaan korupsi ART DPRD Tana Toraja menjadi batu uji bagi Kejati Sulsel, apakah mereka mampu membongkar praktik penyalahgunaan anggaran yang kerap tertutup rapat oleh tembok birokrasi daerah, Kadir Wokanubun, Ketua Badan Pekerja ACC Sulawesi menandaskan. (Hdr)