PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Di sebuah kota pesisir Sulawesi Selatan yang perlahan bergeliat menjawab tantangan zaman, muncul sosok muda yang membawa bukan sekadar gagasan, tapi semangat kolektif.
Nama lengkapnya Muliawan Adyakza Makmur, SH, akrab disapa Muli. Bukan tokoh yang lahir dari panggung-panggung megah organisasi, melainkan dari lorong-lorong kampung, dari denyut kehidupan Kota Palopo yang ia kenal sejak kecil.
Muli tumbuh dengan menyaksikan bagaimana potensi anak muda sering kali luput dari ruang-ruang strategis.
Ia tahu benar luka sosial yang masih membekas di tengah masyarakat. Ia melihat sendiri bagaimana pemuda kadang hanya dipanggil ketika butuh tenaga, bukan suara.
Dari situ, lahir satu keyakinan yang terus ia genggam, yaitu pemuda bukan beban, melainkan jawaban.
Kini, Muli membawa gagasan segar ke tubuh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Palopo. Ia tak datang membawa jargon kosong atau janji manis yang biasa terdengar menjelang pemilihan.
Ia datang dengan tekad untuk menjadikan KNPI sebagai rumah bersama yang terbuka untuk semua, baik yang aktif di organisasi maupun yang tumbuh di ruang-ruang digital, di sekolah, hingga pemuda yang setiap hari berkutat di lorong-lorong sempit perkotaan.
“KNPI bukan menara gading,” kata Muli suatu sore saat ditemui di sebuah warkop di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, Rabu, 30 Juli 2025. “Ia seharusnya menjadi ruang temu, tempat gagasan bertukar, dan kolaborasi lahir.”
Dalam visinya, KNPI bukan hanya simbol. Melainkan medan perjuangan untuk mengorganisasi semangat anak muda.
Menyatukan mereka dalam aksi nyata yang tak melulu berbentuk seremoni atau diskusi meja bundar.
Bagi Muli, perubahan hanya bisa terjadi jika pemuda merasa memiliki, merasa didengar, dan merasa diberi ruang.
Lebih jauh dari itu, ia ingin mengubah cara pandang terhadap kepemimpinan pemuda. Bukan sebagai rebutan posisi, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab.
“Kita terlalu lama mengeluhkan keadaan tanpa keberanian mengambil peran,” ujarnya. “Saatnya pemuda Palopo bersatu dan melangkah lebih jauh.”
Gagasannya memang sederhana, tapi berakar kuat pada realitas sosial. Ia percaya dialog harus dihidupkan, bukan hanya di forum resmi, tapi juga dalam pertemuan-pertemuan kecil seperti di kafe, lapangan, hingga media sosial.
“Karena perubahan tidak lahir dari satu orang,” tegasnya, “tapi dari keberanian untuk saling terhubung.”
Dengan langkah yang tenang namun mantap, Muli tak sedang memburu popularitas. Ia justru sedang membangun ruang partisipasi, tempat pemuda merasa punya tempat untuk menyuarakan keresahan dan ide.
Sebab baginya, masa depan Palopo tak akan ditentukan oleh elite semata, melainkan oleh generasi muda yang berani menciptakannya mulai hari ini. (Nuryadin)