“Ini bukan semata soal nilai ekonomi, tapi menyangkut hak atas kepemilikan. Penebangan pohon produktif tanpa izin pemilik adalah bentuk perusakan yang bisa dijerat pidana,” kata Farid.
Farid menyebut ada sejumlah pasal yang semestinya bisa digunakan untuk menjerat pelaku, yaitu, Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang, lalu Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.
“Kami mencium potensi maladministrasi. Kecil kemungkinan polisi tidak mengetahui dasar hukumnya. Karena itu, kami akan ajukan permintaan gelar perkara ulang di Polres Gowa, dan jika perlu, kami akan laporkan ke Ombudsman maupun Divisi Propam Mabes Polri,” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Unit Reskrim Polsek Biringbulu, Aiptu Syamsuddin, berdalih klasifikasi tipiring merujuk pada hasil pemeriksaan awal serta laporan yang diterima.
“Kami memproses sesuai yang tertuang dalam laporan,” kata Syamsuddin singkat.
Namun PUKAT menilai alasan tersebut tidak cukup. Menurut mereka, sikap aparat dalam menangani laporan publik seharusnya tak hanya berpatokan pada nominal kerugian, tapi juga mempertimbangkan nilai keberulangan ekonomi dan hak atas kepemilikan.
Bagi Nurhayati, yang ia perjuangkan bukan semata nilai pohon, tapi prinsip keadilan. “Saya tidak butuh dikasihani. Saya hanya ingin hukum berpihak pada yang benar,” ujarnya. (Hdr)