Bendera One Piece dan Kekosongan Nasionalisme Kita: Kritik Diam dari Generasi Muda

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh: La Ode Muhamad Yuslan
Mahasiswa Komunikasi Media & Politik

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, masyarakat digital digegerkan oleh pemandangan tak biasa: berkibarnya bendera bajak laut One Piece di beberapa tempat bahkan di media sosial. Dalam hitungan waktu yang cepat, fenomena ini viral dan menuai kecaman dari berbagai kalangan. Ada yang menyebutnya penghinaan terhadap simbol negara, ada pula yang menganggap ini sebagai ulah “anak muda yang kebablasan” bahkan menggagap ini sebagai fomo. Namun sebagai warga kecil negara ini, saya melihat ini lebih dalam—bukan sekadar aksi konyol, tapi sebagai gejala sosial yang menandakan retaknya hubungan antara negara dan generasi mudanya.

Simbol bukan hanya soal bentuk, melainkan makna. Ketika generasi muda lebih memilih mengibarkan lambang tengkorak ala bajak laut fiksi dibanding bendera negara saat hari kemerdekaan, itu menunjukkan ada sesuatu yang lebih serius dari sekadar tren media sosial: krisis keterikatan emosional terhadap simbol negara. Simbol nasional kehilangan maknanya ketika kehidupan sehari-hari justru menunjukkan kontradiksi dengan semangat kemerdekaan yang diagung-agungkan saban tahun.

Fenomena ini bukan hal baru dalam kajian komunikasi media & politik. Media sosial saat ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang publik baru yang membentuk cara berpikir dan cara merasa anak muda terhadap negara. Di sana, narasi populer berkelindan dengan identitas politik, membentuk medan simbolik baru. Dalam dunia di mana wacana publik ditentukan oleh algoritma dan viralitas, simbol bajak laut yang mewakili perjuangan, kebebasan, dan loyalitas justru lebih mudah diresonansi dibanding pidato-pidato kenegaraan yang berjarak dari realitas.

Banyak yang lupa: simbol negara hanya hidup jika negara hadir. Ketika rakyat merasakan keadilan, ketika suara publik didengar, dan ketika pemuda diberi ruang tumbuh dan berpendapat—di situlah bendera merah putih berkibar bukan hanya secara fisik, tapi secara batin. Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Hukum kian terasa tumpul ke atas, suara kritis dianggap ancaman, dan ruang partisipasi politik formal makin sempit oleh dominasi elit. Dalam situasi seperti itu, anak muda mencari makna lain—dan media sosial menyediakan panggungnya.

1
2TAMPILKAN SEMUA
Baca juga :  Tanaman Porang Sinjai Tembus Pasar Luar Negeri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Nilai Sementara Adipura Rendah, Bupati Pinrang Gelar Rapat Terbatas Persiapan Penilaian Adipura 2025

PEDOMANRAKYAT, PINRANG - Rendahnya serapan prosentase nilai yang diperoleh Pemkab Pinrang untuk menghadapi penilaian Adipura Tahun 2025, memaksa...

Oknum Anggota DPRD Sinjai Dalangi Aksi Pembakaran Mobil

PEDOMANRAKYAT, SINJAI - Seorang oknum anggota DPRD Kabupaten Sinjai berinisial KM (31 tahun) yang juga merupakan politisi Partai...

Makassar Arts Forum Akan Dihidupkan Lagi, Appi: Seni Harus Jadi Daya Dorong Kota

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Suasana siang itu di Balai Kota Makassar terasa akrab dan penuh cerita. Sejumlah seniman, budayawan,...

Bupati Pinrang Minta Percepat Progres Revitalisasi Pasar Rakyat Sentral Pinrang

PEDOMANRAKYAT, PINRANG - Sempat dikritisi oleh pedagang pasar terkait hasil pekerjaan pembangunan lapak los jualan di Pasar Sentral...