Pada awal-awal terbentuknya yayasan ini, kegiatannya juga cukup padat. Kesediaan almarhum Burhanuddin Amin pada setiap kegiatan Indonesia Pos Media Group menggandeng YLPSS dalam berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan wartawannya, ikut mendongkrak popularitas nama lembaga ini. Akibatnya ada teman-teman wartawan di Parepare juga ingin bergabung dan hendak membentuk cabang di kota niaga itu. Namun saya selalu menampik dengan alasan belum diatur di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).
“Kita perlu merevisi AD/ART dulu, sehingga eksistensi YLPSS di daerah seara legal dapat dipertanggungjawabkan,” saya berdalih.
Popularitas YLPSS yang sempat menghadirkan orang nomor satu Sulawesi Selatan dalam satu kegiatan kolaboratif Indonesia Pos Media Group-YLPSS yang diadakan beberapa waktu lalu, membuat saya pun dilaporkan ke PWI Pusat lantaran membentuk yayasan itu. Bahkan saya diancam akan dipecat sebagai anggota PWI, suatu gertakan yang sebenarnya tidak dimiliki PWI Cabang Sulsel.
Saya menjelaskan kepada Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat Sasongko Tedjo saat secara kebetulan waktu itu sedang di Jakarta dan undangan masuk ke telepon saya. Setelah saya jelaskan, jelas tidak ada masalah karena PWI Pusat pun sering berkolaborasi dengan Lembaga Pers Dr.Soetomo yang merupakan organisasi sejenis yayasan.
Terakhir, kami bertiga, saya, Hasan Kuba, dan Razak Kasim, membuka rekening yayasan di salah satu bank di kampus Unhas. Jelas, rekeningnya sudah diblokade oleh Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena sejak dibuka dulu, rekeningnya mulai tidur.
Hasan Kuba termasuk serombongan sosok yang aktif di dunia seni sastra dan pentas yang menggandeng keterampilannya sebagai seorang wartawan. Hobinya main drama (teater) plus baca puisi. Tetapi, tidak tabu bagi seorang seniman menerobos bidang jurnalistik. Sudah banyak contoh, seniman juga wartawan. Dulu ada, Rahman Arge, Arsal Alhabsy, Aspar, Husni Djamaluddin, Zainal Bintang, Moh.Ramto, Asdar Muis RMS, Hasan Mintaraga, dan sebagainya. Itu untuk Sulawesi Selatan. Di Jakarta lebih banyak lagi. Banyak seniman dan penyair juga wartawan. Mochtar Lubis (alm), Gunawan Muhammad, Alex Leo Zulkarnaen, dan sebagainya.
Hasan Kuba pun mengikuti jejak mereka. Pria kelahiran Takalar 14 Februari 1952 ini awalnya seorang penulis. Pada tahun 1978, dia menjadi penulis lepas pada berbagai media. Contohnya, Surat Kabar Minggu (SKM) Yudha Minggu Sport dan Film, Pos Film, Barata Minggu. Semuanya terbitan Jakarta. Itu berlangsung hingga tahun 1980. Media ini termasuk pintu masuk banyak penulis menjadi wartawan.
Sering menulis, membuat suami Hamsiah Dg Kebo ini mulai menemukan jalan menjadi wartawan. Pada tahun 1980, Hasan – begitu dia akrab disapa — bergabung dengan SKM Pos Makassar pimpinan Rahman Arge. Cukup lama juga ayah empat anak ini berkiprah di Pos Makassar.
Dalam rentang waktu dua dasawarsa itu, Hasan juga menimba banyak pengalaman di mingguan tersebut. Pada suatu hari tahun 1984, dia mendampingi ‘bos’-nya, Andi Tonra Mahie – Pemimpin Redaksi — pergi ke Sudiang, kediaman Wali Kota Ujungpandang Abustam. Biasa, pergi wawancara. Mereka menggunakan mobil Sunny. Sekitar 50 m sebelum pintu I Unhas Kampus Tamalanrea, Andi Tonra berniat melambung sebuah mobil di depannya. Gas sudah ditancap, dari depan – arah berlawanan – melaju sebuah mobil lain yang jaraknya sudah dekat. Andi Tonra mencoba mengerem Sunny yang dikendarainya. Remnya blong. Tidak ada pilihan lain. Upaya melambung mobil di depan tetap dilanjutkan agar terhindar dari tabrakan. Benar juga, berhasil dan selamat.
Mendampingi ‘bos’ seperti itu sudah rutin dilakukan Hasan. Ke kabupaten-kabupaten apatah lagi. Sambil melakukan perjalanan jurnalistik, Hasan juga belajar. Mulai dari soal keredaksian (penyusunan berita dan peliputan), lay out (perwajahan), hingga pemasaran dan periklanan.
Jika Pemimpin Umum Pos Makassar Rahman Arge melakukan perjalanan jurnalistik ke daerah dan ke luar Sulawesi Selatan, Hasan pun sering diajak. Ke berbagai kota pernah dia dampingi Arge. Ke Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya. Dalam perjalanan seperti inilah Hasan sering memanfaatkan waktunya untuk banyak belajar. Dari Arge, dia belajar mengenai penulisan berita, artikel, dan reportase. Termasuk bagaimana menelusuri kehidupan ini.
‘’Dalam menghadapi hidup ini, jadikanlah dirimu dicari uang. Jangan kamu yang mencari uang,’’ Arge berpesan, ketika suatu waktu keduanya menginap di Mess Pemda Sulsel Jl.Yusuf Adiwinata Menteng Jakarta. (Menerobos Blokade Kelelawar Hitam,Identitas Unhas, 2010).
Kenangan yang sulit dilupakan Hasan selama di Pos Makassar adalah dua kali melakukan polemik. Pertama dengan teman sepermainannya di Dewan Kesenian Makassar (DKM), Hasan Mintaraga (alm). Gara-garanya, berpangkal pada puisi almarhum yang berjudul Almamater. Kedua, dengan menggunakan nama samaran M.Nawir, Hasan perang pena dengan G.Ries T. Perkaranya, sebuah sinetron produksi TVRI Stasion Ujungpandang.
Berpolemik, menurut pemilik warna favorit biru, hitam, dan abu-abu ini, membuat hati panas dan telinga merah untuk menangkis ‘serangan’ lawan.
‘’Tetapi cukup bermanfaat, karena membuat saya rajin membaca untuk menambah referensi membuat tulisan serangan lawan berikutnya,’’ kata Hasan puluhan tahun kemudian.
Dua puluh tahun berlalu, Hasan pun meninggalkan Pos Makassar. Ia mendirikan media sendiri. SKM JURDIL namanya. JURDIL pun tak bertahan lama. Tak didukung pemasaran plus modal yang memadai, media ini hanya berumur setahun. Pada tahun 2000, menggaet H.Andi Sanif Atjo, alumni Akademi Administrasi Niaga (AAN) Negeri Makassar tahun 1975 ini mengurus Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) ke Menteri Penerangan yang waktu itu dijabat Yunus Yosfiah. Bermodalkan SIUPP baru itu, kedua pegiat pers ini mendirikan Surat Kabar Umum FIGUR. Hasan Kuba dipercayakan sebagai Pemimpin Redaksi. Setelah berjalan setahun, FIGUR berubah menjadi majalah berita hingga sekarang.
Profesi wartawan pada tahun 1970-an hingga paruh 1990-an, di mata Hasan Kuba, cukup terhormat dan disegani. Pada masa itu, kata dia, wartawan betul-betul menempatkan diri sebagai mitra pemerintah dan masyarakat. Wartawan yang bertugas di lapangan benar-benar menerapkan kode etik jurnalistik sebagai landasan profesinya. Itulah yang membuat respons pemerintah dan masyarakat cukup positif terhadap pekerja pers.
‘’Tidak seperti sekarang, yang dimulai pada era reformasi, saat Menpen Yunus Yosfiah membuka kran pengurusan SIUPP sangat mudah,’’ kata lelaki yang senang irama pop, daerah, dan dangdut ini.
Akibat terbukanya kran kebebasan pers, kata pemilik lagu favorit ‘’Kemesraan’’ tersebut, jumlah wartawan membludak tak terkendali. Ada media yang sudah tidak terbit lagi, tetapi wartawannya masih terus bergentayangan. Mereka mengaku mencari berita, mewawancarai narasumber, memburu acara jumpa pers, dan sebagainya. Berita-berita mereka tidak pernah muncul di media massa. Kenyataan inilah yang ikut memperburuk citra wartawan di era reformasi ini hingga lahir wartawan “muntaber” (muncul tanpa berita).
Selain menjalani profesi sebagai wartawan, Hasan juga membagi waktunya untuk berbagai kegiatan organisasi. Urusan organisasi sudah digelutinya sejak mahasiswa di AAN Negeri Makassar. Dia pernah tercatat sebagai Pengurus Pleno (Seksi Keamanan) HMI Komisariat akademi yang terletak di Jl. Sultan Hasanuddin itu.
Di PWI Sulsel, sudah dua periode menjadi Pengurus Pleno PWI Cabang Sulsel. Posisinya, Ketua Seksi Wartawan Budaya dan Film. Lalu menjadi Pengurus Harian dalam kapasitas sebagai Wakil Sekretaris I PWI Cabang Sulsel. Terakhir Ketua Bidang Organisasi PWI Sulsel.
Di bidang yang menjadi hobinya, main drama (teater), dia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Persatuan Artis Film (PARFI) Cabang Sulsel periode 2001-2006. Pada organisasi lain pun dia pernah berkiprah. Di Dewan Pimpinan Cabang Pemuda Panca Marga (DPC PPM) Kota Makassar dia dipercayakan sebagai sekretaris hingga Februari 2006. Di tingkat Sulsel, pada organisasi yang sama, Hasan pernah menduduki Jabatan Ketua Bidang Humas dan Hubungan Kelembagaan. Hingga tahun 2007, dia juga menjabat Sekretaris Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI) Provinsi Sulawesi Selatan.
Pengalaman jurnalistiknya pun seabrek. Nominator Lomba Kritik Film Nasional pada Festival Film Indonesia (FFI) 1985 di Bandung ini, sering meliput bidang yang menjadi minatnya. Misalnya saja meliput FFI 1981 di Surabaya, 1983 di Medan, Festival Film ASEAN di Jakarta (1984).
Selain meliput festival film, dia juga meliput pementasan teater. Contohnya, ketika Teater Makassar tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Beberapa kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) pernah diliputnya, seperti HPN II (1985) di Makassar, HPN VII (2002) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan HPN VIII (2005) di Pekanbaru, Riau serta HPN IX di Bandung tahun 2006.
Lebih dari seperempat abad, bahkan hampir setengah abad sudah, dunia dan profesi jurnalistik ini dirambah lelaki dengan makanan kesukaan ikan bakar, ‘pallumara’ dan sayur asam ini. Sebagai pemimpin redaksi sebuah majalah yang terbit secara periodik, Hasan Kuba juga merasakan imbasnya. Mungkin ada benarnya pernyataan mendiang L.E.Manuhua belasan tahun sebelum dia meninggal.
‘’Sulawesi Selatan bukan lahan yang subur bagi tumbuhnya media pers,’’ katanya waktu itu tanpa merinci alasan-alasannya.
Tetapi, paling tidak, pernyataan itu bisa diubah dan disiasati. Hasan Kuba mencoba melakukan itu. Dia berharap, –waktu itu — ke depan kehidupan media di Sulawesi Selatan ini akan cerah, meski persaingan media tidak pernah mau kompromi. Ternyata persaingan bukannya tambah cerah, melainkan tambah parah, saat setiap orang bisa menjadi wartawan bagi dirinya sendiri. Selamat jalan sahabat. Namamu akan tetap dikenang oleh banyak orang yang pernah mengenalmu. (M.Dahlan Abubakar, 13 Agustus 2025).
In Memoriam H.Hasan Kuba Seniman dan Dramawan yang Wartawan
Tanggal:
Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.