M.Basir meninggal di RS Akademis, 14 Oktober 1985 pada usia 62 tahun. Beliau dikaruniai 10 anak (istri pertama 9, dan dari istri kedua 1) dan puluhan cucu, serta belasan cicit. Dan salah satu cucunya adalah Agus Anwar Moka (dari Yulia Basir dan Anwar Rivai Moka): salah satu calon bupati Jeneponto periode 2008-2013. Kepadamu, cinta kami selalu.
Tangan Dingin
Ketika saya menjadi wartawan Pedoman Rakyat akhir 1976, polesan M.Basir dalam membimbing menjadi seorang jurnalis sejati tidak terelakkan. Dia termasuk figur bertangan dingin dalam membentuk wartawan yang berkarakter. Cara mendidiknya belum tertandingi oleh sosok lain pada zamannya.
Dalam hal mandiri, M. Basir punya cara yang jitu. Pernah, pada tahun 1978, Pedoman Rakyat menerima wartawan secara massal melalui sebuah pendaftaran yang berakhir dengan tes. Yang lulus adalah saringan dari lebih seratus pelamar. Tetapi saya tidak termasuk dalam penerimaan berjamaah ini. Usai pendidikan dan latihan yang dilaksanakan beberapa hari di Balai Wartawan Ujungpandang – yang saya juga ikuti –, para wartawan yang baru diterima dilepas ke lapangan.
Saya masih ingat, ada seorang wartawati (dari tiga orang wartawati yang diterima), pernah diminta Basir ikut di mobilnya. Mobilnya kala itu, sedan kecil DD 31 warna merah. Rencananya, Pak Basir akan ke Jeneponto. Biasa, menengok masjid yang baru dibangunnya di Tamalate. Tiba di Takalar, mobil berhenti. Wartawati itu diturunkan. Basir minta kepada wartawati (baru) itu mencari berita di Pemkab Takalar. Setelah meliput, Basir berpesan agar kembali ke kantor. Sedan merah pun tancap gas ke Jeneponto.
Bagaimana kisah wartawati yang didrop seorang diri dengan tugas pertama ke luar kota itu? Kabarnya, dia sempat menangis. Bingung memikirkan bagaimana pulang ke Makassar. Namun sebagai wartawan, tentu dia sudah dibekali. Itulah cara Basir mendidik kemandirian wartawan dalam meliput.
Sekitar awal tahun 1984, terjadi gempa bumi di Mamuju. Wartawan PR ketinggalan mobil rombongan Gubernur A. Amiruddin yang meninjau ke Mamuju. Suatu pagi, saya muncul di kantor. Basir sedang duduk di pojok ruangannya di Kantor Redaksi Jl. A. Mappanyukki. Saya berjalan merunduk dengan harapan, kepala tak terlihat oleh ’bos’ yang lagi duduk di kursinya di pojok ruangan dalam kantor.
’’Zendy, siapa yang masuk itu?,’’ terdengar teriakan kecilnya, ketika baru saja pantat saya menyentuh kursi kayu di depan sang sekretaris redaksi. Ternyata, beliau mendengar suara langkah saya yang terayun pelan memasuki ruangan sekretaris redaksi.
‚’Dahlan, Pak!,’’ sahut Zendy yang punya nama asli Jayandi Putri Manuhua, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta yang memutuskan balik ke Makassar dan menjadi sekretaris di Kantor Redaksi Pedoman Rakyat sebelum menggaet sarjana.
‚’Suruh masuk!,’’ perintah M.Basir.
Dengan hati berdebar-debar penulis mengayun langkah, menyibak daun pintu kayu pembatas antara kamar kerjanya dengan kamar sekretaris.
’’Gerangan tugas apa lagi yang bakal diterima hari ini Atau, kesalahan apa lagi yang perlu mendapat teguran,’’ saya menggumam sedikit gemetar. Penulis menarik kursi di depan meja Pak Henny, Wakil Pemred. Pak Basir masih sibuk memperhatikan catatan di secarik kertas di depannya.
’’Kau ke Mamuju, meliput musibah gempa bumi. Rombongan Gubernur sudah berangkat tadi pagi-pagi, tidak ada wartawan PR yang ikut. Kau menyusul. Cari kendaraan ke Mamuju, ini uang biaya perjalanan dan lain-lainnya,’’ katanya sembari mengulurkan kertas buram, yang tidak lain adalah nota kas bon yang biasa dipakai untuk mengambil dana di bagian keuangan kantor.
Ternyata, dari tadi pagi, beliau sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengirim wartawan ke Mamuju. Saya juga tidak tahu, apakah memang beliau sudah tunggu-tunggu untuk memberi penugasan itu atau tidak. Namun yang jelas, Pak Basir selalu memilih wartawan yang dia anggap mampu untuk melaksanakan tugas yang tidak ringan.
Dalam banyak pengalaman, saya selalu menjadi langganan untuk ditugasi mewawancarai sosok yang memerlukan wawancara mendalam. Kemampuan “nose for news” (pensiuman berita/informasi) beliau luar biasa. Sebagai pemimpin redaksi‚ tugas beliaulah yang selalu menugaskan wartawan untuk meliput sesuatu yang khas, terutama yang luput dari perhatian para anggota redaksi lainnya. Biasanya, beliau memberi tahu latar belakang seseorang yang kelak akan diwawancarai, sehingga wartawan yang ditugaskan memperoleh gambaran awal masalah yang hendak digali.
Selama hidup beliau, hanya sekali saya merasa khawatir Pak Basir merasa tak enak. Ceritanya, suatu hari saya meliput kisah pertukaran dua anak di salah satu rumah sakit Sungguminasa. Kedua anak itu dipertemukan dengan ibu kandungnya masing-masing setelah berusia 12 tahun. “Features” mengenai kisah ini saya sudah kemas manis.
Usai disusun, naskah diserahkan ke Wakil Pemimpin Redaksi, Henny Katili. Almarhum Pak Henny tak segera memuatnya sebelum dilihat oleh Pak Basir. Apalagi menyangkut kisah yang memiliki daya tarik tersendiri (human interest). Setelah seminggu, naskah itu tak dimuat-muat juga. Pada suatu malam, selagi piket, saya iseng-iseng membongkar tumpukan tulisan di atas meja Pak Basir. Saya hanya ingin memastikan bahwa tulisan itu sudah tiba di meja beliau dan membacanya.
Ternyata, benar ada. Tulisan itu bergabung dengan beberapa tulisan dan artikel lainnya. Tidak ada coretan apa-apa. Juga tidak ada catatan yang memberi tanda bahwa tulisan itu akan dimuat atau tidak. Saya bertanya dalam hati, mengapa tulisan semenarik ini tidak dimuat?
Sekembali ke rumah, saya membongkar kembali arsip (tindasan atau lampiran) tulisan tersebut. Keesokan hari, naskah itu dikirim ke Harian Suara Karya Jakarta melalui pos, karena kebetulan waktu itu, saya juga tercatat sebagai koresponden di Sulawesi Selatan.
Hanya berselang tiga hari setelah dikirim, tulisan tersebut dimuat di halaman satu Suara Karya. Saya sempat membaca dan sangat gusar. Saya yakin, Pak Basir akan mengetahuinya. Pasalnya, Pak Henny berlangganan suratkabar itu di kantor.
Dalam rapat bulanan tiap tanggal 25, salah satu agenda penting yang dibahas adalah kisah tulisan yang dimuat Suara Karya itu. Saya merasa seolah-olah duduk di kursi pesakitan. Dalam kesempatan itu, L.E. Manunua yang memimpin rapat langsung menyemprot saya.
’’Secara moral, seorang wartawan Pedoman Rakyat tidak boleh dan tidak dibenarkan mengirim tulisan ke media lain,’’ dengan mantap almarhum menandaskan.
Saya hanya diam seribu basa. Pak Basir kemudian menjelaskan bahwa kisah anak tertukar seperti itu sudah biasa terjadi di luar negeri, sehingga tidak dimuat di Pedoman Rakyat.
Ketika ada jedah sedikit, Saya mohon izin untuk sejenak berbicara.
’’Terus terang, saya meliput peristiwa dan menuliskannya untuk Pedoman Rakyat. Namun, setelah menunggu beberapa hari, ternyata tidak dimuat tanpa dijelaskan apa yang kurang dari tulisan itu. Saya pun mengirimnya ke Jakarta dan dimuat di halaman satu,’’ saya memaparkan.
Mendengar penjelasan saya, Pak Manuhua kembali berbicara.
’’Mungkin pihak redaksi perlu lebih jeli lagi melihat kadar suatu tulisan. Mengapa koran lain memuatnya di halaman satu, tentu tulisan itu menarik, sementara kita yang berada di depan mata peristiwa itu justru tidak memuatnya’’.
Begitu mendengar komentar Pak Manuhua, saya hanya kian tertunduk. Nyaris tidak pernah angkat pandang. Apalagi melirik ke Pak Basir. Tetapi, Pak Basir dan Pak Manuhua, termasuk sosok yang bisa memahami duduk persoalannya. Meskipun saya juga gamang kalau-kalau gara-gara kasus itu akhirnya dipecat dari Pedoman Rakyat. Ternyata tidak. Malah Pak Basir tetap memberi tugas peliputan khusus kepada saya kian sering saja.
(Bagian awal tulisan ini bersumber dari tulisan Maysir Yulanwar, cucu M.Basir dan penulis perkaya dengan pengalaman berinteraksi dengan almarhum). (M.Dahlan Abubakar, Makassar 15 Agustus 2025).
Catatan Wartawan: (7-Habis)