Gagal Dieksekusi karena Perempuan Ambon-Belanda

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Keterangan foto: M.Basir (kanan) saat meliput peluncuran Satelit Palapa II di Cape Canaveral, Florida, AS, 9 Maret 1977. (Foto: Buku M.Basir: Lebih Berkuasa dari Para Penguasa, 2023).

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Nama M. Basir, memang layak digores dengan tinta emas dalam ranah kewartawanan di Sulawesi Selatan. Track record-nya sebagai seorang jurnalis tidak diragukan lagi. Bukan hanya itu, naluri kewartawanannya begitu tajam. Dia bagaikan kawah candradimuka bagi wartawan-wartawan muda di belakang generasinya. Termasuk Rahman Arge, Arsal, Ramiz Parenrengi, Andi Moein MG, dan beberapa nama lainnya, pernah menempatkan almarhum sebagai guru dan senior. Juga, oleh beberapa wartawan di media yang pernah dipimpinnya, Pedoman Rakyat.

Naluri jurnalistik M.Basir memang sangat tajam. Tidak heran, dia berbagi tugas L.E. Manuhua menakhodai PR. Manuhua di bilik keperusahaan, Basir di kamar keredaksian.
Jiwanya, sebagaimana layaknya anak-anak desa yang lain, Basir kecil tumbuh dan bermain di lingkungan desa yang baik ketika itu. Tak ada yang mencolok dari dirinya, kecuali kulitnya yang putih bersih. Tubuhnya sedikit bongsor. Meskipun terbilang nakal, Basir cilik sering tampil sebagai pembela sekaligus pelindung jika ada yang mencoba mengganggu teman-temannya.

Ia begitu setia kawan.
Seusai sekolah, Basir memiliki tugas menjajakan kue yang dibuat ibunya, Iyada Dg. Cuda. Tanpa malu-malu, ia keliling kampung. Dari pintu ke pintu. Dari pasar ke pasar. Menjajakan kue enak produksi tangan cekatan sang Ibunda tersayang.

‘‘Dengan tekun dan riang, ia melakoni tugasnya ini dan menjadikannya banyak belajar. Satu cita-citanya ketika itu, ia mau keliling dunia,’’ tulis Maysir Yulanwar, cucunya, seperti dimuat yapti.ac.id. 21 Oktober 2008 dan saya akses melalui www.google.com, 5 April 2009.

Saat mulai dewasa, pemuda Basir hijrah ke Makassar. Di kota yang baru berkembang ini, ia memilih menjadi seniman teater. Berkawan dengan banyak artis lokal bahkan artis ibu kota, membawanya keliling separuh wilayah Republik Indonesia. Beberapa aksi panggung diikutinya, termasuk beberapa naskah teater lahir dari tangannya. Sadar akan kemampuannya di dunia tulis menulis, Basir lalu menekuninya, dan ‘terdampar’ di dunia jurnalis.

Bersama rekannya, Basir membantu membidani lahirnya koran perjuangan bernama Pedoman Rakyat. Jika para pejuang kita bertempur dengan badik terhunus, Basir berjuang dengan dua sekaligus: badik dan mesin ketik. Di sela-sela kesibukannya sebagai pejuang (wajib militer), Basir ‘membombardir’ Belanda dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Alhasil, beliau menjadi salah satu incaran Kompeni ketika itu.

Sebuah penangkapan dramatis terjadi, Basir digiring dan dilempar ke atas truk untuk dibawa ke lokasi eksekusi. Maut sudah menyambutnya.
Keajaiban terjadi. Malaikat maut ternyata belum menghampirinya. Seorang perempuan berdarah Ambon Belanda bernama Qori, bergegas menjelaskan kepada Kompeni bahwa Basir adalah keluarganya. Wajahnya yang putih bagai air muka Eropa, melunturkan keraguan Kompeni. Basir diturunkan dari atas truk. Dipisahkan dari puluhan orang yang meronta berdesakan. Qori adalah istri Makka Moka, kakak dari Rivai Pakihi Moka (pendiri YAPTI Jeneponto).

Basir adalah Pedoman Rakyat, Pedoman Rakyat adalah Basir. Keduanya ibarat kembar siam, sulit dipisahkan. Juga, bagaikan dua sisi mata uang. Menjabat sebagai pemimpin redaksi di koran ini, Basir membesarkan surat kabarnya dengan cinta dan totalitas kerja. Banyak wartawan profesional yang lahir dari didikannya. Independensi jurnalisme yang diterapkan ketika itu membawa Pedoman Rakyat tampil sebagai koran yang disegani di Indonesia Timur, bahkan nasional.

Ada dua tugas wartawan: mewartakan berita dan menyingkap kebenaran. Dan kita sebagai insan pers, dimuliakan oleh tugas yang kedua.
Tulisannya sering menjadi rujukan kebijakan pemerintah. Pun sebaliknya, tak sedikit kebijakan yang direvisi akibat tulisannya. Keadaan ini kemudian menghantarnya sebagai wakil rakyat Kota Makassar di era 70-an. Meskipun demikian, politik tak menjadikannya silau terhadap kekuasaan. Beliau lebih memilih memperbanyak relasi di banyak tingkatan; dari tingkat Istana di ibu kota, sampai gubuk sederhana di lorong kampung dan desa.
Di masa M.Dg. Patompo menjadi Wali Kota Makassar, Basir menjadi mitra dalam penataan Kota Makassar.

Baca juga :  Ada Lomba Baris Berbaris di Kemeriahan Semarak HJS Ke 459

Beberapa patung dan taman kota yang menghiasi Makassar ketika itu (termasuk ‘Tanggul Patompo’ yang terkenal) adalah hasil kolaborasi Patompo yang ‘gila’ membangun dengan Basir yang ‘bertangan dingin’.
Saat di penghujung jabatannya sebagai panglima, Jenderal M. Jusuf meminta kepada Basir untuk mengajukan permintaan.
’’Apakah ingin sesuatu, rumah? Atau jabatan gubernur? Katakan, Basir..,” desak M.Jusuf.
Didesak sahabatnya, Basir menjawab.
“Saya tidak tertarik. Saya minta yang paling berharga dari itu yang Pak Jusuf miliki,” sahut Basir.
“Apa itu,?” Jusuf yang tersentak bertanya.
“Foto keluarga, Bapak,” jawab Basir tenang.
Hingga kini, foto M.Jusuf bersama istrinya, tetap terpasang di salah satu dinding di rumahnya di Jalan Durian, Makassar.

Kisah ini hampir sama ketika Solihin GP hendak menyelesaikan jabatannya sebagai panglima. Beliau pun bertanya sama kepada Basir.
“Apa yang kau inginkan? Menjadi Gubernur?”
Basir menolaknya dengan alasan bersedia tapi nanti jika Pak Solihin menjadi Menteri Dalam Negeri.
“Saya cuma minta cerutu bapak,” lanjut Basir serius. Wartawan senior ini memang dikenal sebagai perokok berat.
Permintaan sebagai duta besar di Filipina pun ditampiknya. Ia tak ingin surat kabarnya mati lantaran menerima tawaran itu. Ia begitu menghargai kejujuran, bahkan ketika kejujuran itu mengharuskan ia membuat banyak hati tidak puas, bahkan kecewa. Tapi ini yang membuat Basir tampil sebagai manusia yang paling merdeka. Tak ada yang mampu menunjukinya dengan kata rendah sedikit pun.
Sebagian orang menganggap ini berlebihan. Bahkan tak sedikit yang menganggap beliau bodoh, lantaran tidak memanfaatkan kesempatan. Tapi Basir memang lain. Dengan ‘kebodohannya’ ini, ia lebih wali kota daripada wali kota sebenarnya. Ia lebih gubernur daripada gubernur sesungguhnya. Sehingga, jangan heran, ketika itu setiap pemilihan bupati, beliau selalu dimintai persetujuannya. Beliau berkuasa di atas para penguasa. Dan, karena kesederhanannya, beliau berkuasa tanpa sedikit pun menampakkan kesombongan dan keberkuasaannya.

Ia pecinta seni dan budaya yang berkelas. Goresan gambarnya terabadikan di logo Kodam XIV Hasanuddin ketika itu, dan Kodam VII Wirabuana sekarang. Lusinan buku bertuliskan huruf Lontara pun pernah ia buat, termasuk Pedoman Desa; satu-satunya koran bertuliskan huruf Lontara, khusus disebarkan di desa-desa.
Jauh dari riuh politik, Basir lebih memilih menenggelamkan diri ke dalam cintanya sebagai wartawan dan korannya Pedoman Rakyat. Profesi yang menjelaskan dengan begitu baik tentang siapa sosok seorang Basir; profesi yang membawa dirinya keliling dunia, seperti cita-cita kecilnya dulu. Diundang dari berbagai belahan negeri untuk melihat langsung dan bertukar pikiran tentang apa saja. Basir adalah cerita panjang yang tak akan pernah habis diurai di halaman terbatas ini. Dalam sakitnya yang payah akibat lever yang mendera, beliau masih saja menulis dan mengatur pemberitaan. Dalam catatan tangannya ia menulis: ”Ada dua tugas wartawan: mewartakan berita dan menyingkap kebenaran. Dan kita sebagai insan pers, dimuliakan oleh tugas yang kedua.”

M.Basir meninggal di RS Akademis, 14 Oktober 1985 pada usia 62 tahun. Beliau dikaruniai 10 anak (istri pertama 9, dan dari istri kedua 1) dan puluhan cucu, serta belasan cicit. Dan salah satu cucunya adalah Agus Anwar Moka (dari Yulia Basir dan Anwar Rivai Moka): salah satu calon bupati Jeneponto periode 2008-2013. Kepadamu, cinta kami selalu.

Baca juga :  Sempat Viral di Medsos, Kapolres Yudi Frianto Rilis Penangkapan Kasus Pengeroyokan di Barukang

Tangan Dingin

Ketika saya menjadi wartawan Pedoman Rakyat akhir 1976, polesan M.Basir dalam membimbing menjadi seorang jurnalis sejati tidak terelakkan. Dia termasuk figur bertangan dingin dalam membentuk wartawan yang berkarakter. Cara mendidiknya belum tertandingi oleh sosok lain pada zamannya.
Dalam hal mandiri, M. Basir punya cara yang jitu. Pernah, pada tahun 1978, Pedoman Rakyat menerima wartawan secara massal melalui sebuah pendaftaran yang berakhir dengan tes. Yang lulus adalah saringan dari lebih seratus pelamar. Tetapi saya tidak termasuk dalam penerimaan berjamaah ini. Usai pendidikan dan latihan yang dilaksanakan beberapa hari di Balai Wartawan Ujungpandang – yang saya juga ikuti --, para wartawan yang baru diterima dilepas ke lapangan.

Saya masih ingat, ada seorang wartawati (dari tiga orang wartawati yang diterima), pernah diminta Basir ikut di mobilnya. Mobilnya kala itu, sedan kecil DD 31 warna merah. Rencananya, Pak Basir akan ke Jeneponto. Biasa, menengok masjid yang baru dibangunnya di Tamalate. Tiba di Takalar, mobil berhenti. Wartawati itu diturunkan. Basir minta kepada wartawati (baru) itu mencari berita di Pemkab Takalar. Setelah meliput, Basir berpesan agar kembali ke kantor. Sedan merah pun tancap gas ke Jeneponto.
Bagaimana kisah wartawati yang didrop seorang diri dengan tugas pertama ke luar kota itu? Kabarnya, dia sempat menangis. Bingung memikirkan bagaimana pulang ke Makassar. Namun sebagai wartawan, tentu dia sudah dibekali. Itulah cara Basir mendidik kemandirian wartawan dalam meliput.
Sekitar awal tahun 1984, terjadi gempa bumi di Mamuju. Wartawan PR ketinggalan mobil rombongan Gubernur A. Amiruddin yang meninjau ke Mamuju. Suatu pagi, saya muncul di kantor. Basir sedang duduk di pojok ruangannya di Kantor Redaksi Jl. A. Mappanyukki. Saya berjalan merunduk dengan harapan, kepala tak terlihat oleh ’bos’ yang lagi duduk di kursinya di pojok ruangan dalam kantor.

’’Zendy, siapa yang masuk itu?,’’ terdengar teriakan kecilnya, ketika baru saja pantat saya menyentuh kursi kayu di depan sang sekretaris redaksi. Ternyata, beliau mendengar suara langkah saya yang terayun pelan memasuki ruangan sekretaris redaksi.
‚’Dahlan, Pak!,’’ sahut Zendy yang punya nama asli Jayandi Putri Manuhua, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta yang memutuskan balik ke Makassar dan menjadi sekretaris di Kantor Redaksi Pedoman Rakyat sebelum menggaet sarjana.
‚’Suruh masuk!,’’ perintah M.Basir.
Dengan hati berdebar-debar penulis mengayun langkah, menyibak daun pintu kayu pembatas antara kamar kerjanya dengan kamar sekretaris.

’’Gerangan tugas apa lagi yang bakal diterima hari ini Atau, kesalahan apa lagi yang perlu mendapat teguran,’’ saya menggumam sedikit gemetar. Penulis menarik kursi di depan meja Pak Henny, Wakil Pemred. Pak Basir masih sibuk memperhatikan catatan di secarik kertas di depannya.
’’Kau ke Mamuju, meliput musibah gempa bumi. Rombongan Gubernur sudah berangkat tadi pagi-pagi, tidak ada wartawan PR yang ikut. Kau menyusul. Cari kendaraan ke Mamuju, ini uang biaya perjalanan dan lain-lainnya,’’ katanya sembari mengulurkan kertas buram, yang tidak lain adalah nota kas bon yang biasa dipakai untuk mengambil dana di bagian keuangan kantor.

Ternyata, dari tadi pagi, beliau sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengirim wartawan ke Mamuju. Saya juga tidak tahu, apakah memang beliau sudah tunggu-tunggu untuk memberi penugasan itu atau tidak. Namun yang jelas, Pak Basir selalu memilih wartawan yang dia anggap mampu untuk melaksanakan tugas yang tidak ringan.
Dalam banyak pengalaman, saya selalu menjadi langganan untuk ditugasi mewawancarai sosok yang memerlukan wawancara mendalam. Kemampuan “nose for news” (pensiuman berita/informasi) beliau luar biasa. Sebagai pemimpin redaksi‚ tugas beliaulah yang selalu menugaskan wartawan untuk meliput sesuatu yang khas, terutama yang luput dari perhatian para anggota redaksi lainnya. Biasanya, beliau memberi tahu latar belakang seseorang yang kelak akan diwawancarai, sehingga wartawan yang ditugaskan memperoleh gambaran awal masalah yang hendak digali.

Baca juga :  Polemik Soal Pemberian Surat Pindah Sejumlah Siswa SMANSA, Pemerhati Pendidikan : Pelanggaran Terhadap Prinsip Pendidikan

Selama hidup beliau, hanya sekali saya merasa khawatir Pak Basir merasa tak enak. Ceritanya, suatu hari saya meliput kisah pertukaran dua anak di salah satu rumah sakit Sungguminasa. Kedua anak itu dipertemukan dengan ibu kandungnya masing-masing setelah berusia 12 tahun. “Features” mengenai kisah ini saya sudah kemas manis.
Usai disusun, naskah diserahkan ke Wakil Pemimpin Redaksi, Henny Katili. Almarhum Pak Henny tak segera memuatnya sebelum dilihat oleh Pak Basir. Apalagi menyangkut kisah yang memiliki daya tarik tersendiri (human interest). Setelah seminggu, naskah itu tak dimuat-muat juga. Pada suatu malam, selagi piket, saya iseng-iseng membongkar tumpukan tulisan di atas meja Pak Basir. Saya hanya ingin memastikan bahwa tulisan itu sudah tiba di meja beliau dan membacanya.
Ternyata, benar ada. Tulisan itu bergabung dengan beberapa tulisan dan artikel lainnya. Tidak ada coretan apa-apa. Juga tidak ada catatan yang memberi tanda bahwa tulisan itu akan dimuat atau tidak. Saya bertanya dalam hati, mengapa tulisan semenarik ini tidak dimuat?
Sekembali ke rumah, saya membongkar kembali arsip (tindasan atau lampiran) tulisan tersebut. Keesokan hari, naskah itu dikirim ke Harian Suara Karya Jakarta melalui pos, karena kebetulan waktu itu, saya juga tercatat sebagai koresponden di Sulawesi Selatan.

Hanya berselang tiga hari setelah dikirim, tulisan tersebut dimuat di halaman satu Suara Karya. Saya sempat membaca dan sangat gusar. Saya yakin, Pak Basir akan mengetahuinya. Pasalnya, Pak Henny berlangganan suratkabar itu di kantor.
Dalam rapat bulanan tiap tanggal 25, salah satu agenda penting yang dibahas adalah kisah tulisan yang dimuat Suara Karya itu. Saya merasa seolah-olah duduk di kursi pesakitan. Dalam kesempatan itu, L.E. Manunua yang memimpin rapat langsung menyemprot saya.
’’Secara moral, seorang wartawan Pedoman Rakyat tidak boleh dan tidak dibenarkan mengirim tulisan ke media lain,’’ dengan mantap almarhum menandaskan.
Saya hanya diam seribu basa. Pak Basir kemudian menjelaskan bahwa kisah anak tertukar seperti itu sudah biasa terjadi di luar negeri, sehingga tidak dimuat di Pedoman Rakyat.
Ketika ada jedah sedikit, Saya mohon izin untuk sejenak berbicara.

’’Terus terang, saya meliput peristiwa dan menuliskannya untuk Pedoman Rakyat. Namun, setelah menunggu beberapa hari, ternyata tidak dimuat tanpa dijelaskan apa yang kurang dari tulisan itu. Saya pun mengirimnya ke Jakarta dan dimuat di halaman satu,’’ saya memaparkan.
Mendengar penjelasan saya, Pak Manuhua kembali berbicara.

’’Mungkin pihak redaksi perlu lebih jeli lagi melihat kadar suatu tulisan. Mengapa koran lain memuatnya di halaman satu, tentu tulisan itu menarik, sementara kita yang berada di depan mata peristiwa itu justru tidak memuatnya’’.
Begitu mendengar komentar Pak Manuhua, saya hanya kian tertunduk. Nyaris tidak pernah angkat pandang. Apalagi melirik ke Pak Basir. Tetapi, Pak Basir dan Pak Manuhua, termasuk sosok yang bisa memahami duduk persoalannya. Meskipun saya juga gamang kalau-kalau gara-gara kasus itu akhirnya dipecat dari Pedoman Rakyat. Ternyata tidak. Malah Pak Basir tetap memberi tugas peliputan khusus kepada saya kian sering saja.
(Bagian awal tulisan ini bersumber dari tulisan Maysir Yulanwar, cucu M.Basir dan penulis perkaya dengan pengalaman berinteraksi dengan almarhum). (M.Dahlan Abubakar, Makassar 15 Agustus 2025).

Catatan Wartawan: (7-Habis)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Yayasan Konservasi Satwa & Lingkungan Resmi Diluncurkan di IKN: Gerakan Hijau Menuju Forest City Dunia

PEDOMANRAKYAT, PENAJAM (KALTIM) - Di tengah semangat perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-80, Ibu Kota Nusantara (IKN)...

Bupati Frederik V. Palimbong Jadi Inspektur Upacara Pada HUT ke-80 RI di Toraja Utara

PEDOMANRAKYAT, TORAJA UTARA - Pemerintah Daerah Toraja Utara melaksanakan Upacara Pengibaran Bendera Sang Saka Merah Putih dalam memperingati...

Camat Bontoramba Inspektur Upacara Peringatan HUT RI 80

JENEPONTO, PEDOMAN RAKYAT.Camat Bontoramba Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan Nur Lewa, S.Kom jadi Inspektur pada Upacara Pengibaran Bendera Merah...

92 Warga Binaan Rutan Kelas IIB Watansoppeng Terima Remisi

PEDOMANRAKYAT,SOPPENG - Dalam rangkaian peringatan HUT ke – 80 Kemerdekaan RI , ,92 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Rutan...