Bayi Terlahir di Puncak ‘Ncanga’ itu, Kini Profesor!

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh M.Dahlan Abubakar

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Matahari belum terlalu tinggi di belahan langit timur Desa Boro 21 Juli 2025. Desa ini berada di Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima, sekitar 100 km dari ibu kota kabupaten ke arah barat.

Ketika Gunung Tambora meletus 10 April 1815, Kerajaan Sanggar termasuk satu dari tiga kerajaan (Pekat dan Tambora) yang ‘babak belur’ digasak letusan paling dahsyat sepanjang sejarah itu. Kekuatan letusannya “volcanic explosivity index” (VEI) — indeks daya ledak — 7. Satu-satunya letusan yang mencapai angka VEI sedahsyat itu.

Letusan ini mengubah musim panas belahan bumi utara, korban tercatat antara 40.000 hingga 90.000 jiwa. Korban itu akibat dampak langsung letusan, kelaparan pascaletusan, dan penyakit epidemik yang timbul di Sumbawa, Lombok, dan Bali.
Lonceng menunjukkan pukul 08.30 Wita, saat Abd. Halik, anak kedua pasangan Abd.Thalib-Siti Hafsah — menjemput saya di kediaman si bungsu, Izhar S.Pd., di bagian barat desa. Hari itu, Abd, Halik mengagendakan membawa saya ke “ncanga”, sekitar 2-3 kilometer di sebelah selatan desa.

Honda Revo yang tampaknya sudah berusia, melaju pelan saat mulai memasuki lorong desa, kemudian menapaki jalan berbatu. Ini jalan ekonomi. Masih berbatu, disertai penurunan dan tanjakan berbelok pula. Kendaraan beroda empat dan lebih sudah bisa melintas. Tampak ada bekas tapak roda besi alat berat pada kedua sisi jalan. Mungkin dikerahkan untuk menggali sumur kecil penampung air bagi para petani bawang yang mulai beraktivitas atau memperlebar serta meratakan jalan ekonomi itu.

Di sebelah kiri jalan, tampak beberapa petak sawah sudah diolah sebagai persiapan pertanaman bawang. Beberapa petak di antaranya baru saja tertanami. Sejumlah orang lainnya tampak sibuk menanam.
Warga Desa Boro mengontrakkan lahan mereka kepada imigran lokal dari desa Ngali, Renda, dan Ncera Kecamatan Belo Kabupaten Bima yang sudah terkenal dengan tradisi dan unggul dalam pertanaman bawang di Kabupaten Bima. Mereka terkenal sebagai petani tangguh dan piawai dalam menanam komoditas andalan daerah ini dari waktu ke waktu. Banyak di antara warga ketiga desa ini meninggalkan desa mereka untuk membuka lahan pertanaman bawang di kecamatan dan kabupaten lain. Mereka menyewa lahan warga dengan perhitungan satu musim tanam atau setahun.
Honda terus menderu, menaklukkan tanjakan kecil berbatu. Abd. Halik yang memegang stang Honda cukup cekatan mengendalikan kuda Jepang ini melintasi jalan berbatu, berkelok-kelok, menurun dan menanjak. Rasa ngeri saya terusir jauh melihat kepiawaian anak kedua dari sepuluh bersaudara pasangan Abd.Tahlib-Siti Hafsah ini.

Baca juga :  Remas Area Sensitif Korbannya, HL Meregang Nyawa

Di kiri kanan jalan, pohon kaktus tumbuh lebat. Seolah menjadi pagar hidup bagi kebun dan sawah warga dari gangguan hama tanaman atau pun ternak sapi yang lepas. Saya meskipun tidak merasa ngeri, cuma sedikit khawatir juga jika ‘honda’ (sebutan untuk sepeda motor di Bima) yang dikemudikan Abd.Halik keluar jalur. Tetapi dia pengendara ulung untuk medan berbatu dan bertanjakan. Sepanjang perjalanan ke lereng “ncanga” (bercabang), saya duduk manis di atas sadel ‘honda’, walaupun diadang tanjakan dan cekungan sungai kering berbatu. Dalam kondisi seperti ini, saya harus berkali-kali memperbaiki posisi duduk yang bergeser kiri-kanan akibat pergerakan ‘honda’ yang penuh goncangan.

Pada sebuah lahan datar, di sebelah kiri ada bukit, Di puncaknya tumbuh satu pohon. Katanya, pohon asam. Abd. Halik menghentikan ‘honda’. Saya lebih dulu turun, dia menyusul. Tampak dia menutup mata dan hidungnya. Terdengar suaranya terisak beberapa saat.
“Jika melintas di tempat ini, saya jarang berhenti, Pak Doktor. Saya selalu terkenang almarhumah Ibu saya,” katanya sembari terisak kecil yang membuat saya pun ikut larut. Terenyuh. Dia terdiam beberapa saat, sebelum menunjuk sebuah batu besar di depan kami.

“Batu inilah, tempat almarhumah Ibu bersandar, saat awal merasakan sakit perutnya,” Abd. Halik melanjutkan, bernostalgia, mengenang peristiwa 53 tahun silam di lereng “ncanga” itu dan merapat ke batu besar tersebut.
Di ladang “ncanga” keluarga Abd.Thalib selain menanam padi, juga menanam tanaman tumpang sari seperti jagung, jawawut, latu (sejenis gandum), “ponda” (labu), “bue” (kacang panjang), dan “uba mea” (okrah). “Latu” ini ada dua jenis. Ada yang berwarna ungu-kecokelatan dan ada yang lembek. Batang “latu” ini mengandung air gula. Anak-anak kecil di kampung-kampung dulu biasa memotong-motong batangnya, kemudian membelahnya kecil-kecil, baru dikunyah-kunyah untuk mendapatkan cairan manisnya.

Baca juga :  Fahruddin Rangga Hadiri Acara Akkorontigi

Mirip mengisap dan menyesap belahan kecil batang tebu untuk memperoleh cairan manisnya.
Tanaman tumpang sari itu sangat bermanfaat bagi kehidupan para peladang selama musim tanam padi. Umur tanaman itu terkadang jauh lebih muda atau bersamaan dengan usia padi saat dipanen. Namun, usai padi dipanen, tanaman-tanaman tumpang sari itu tetap berproduksi. Labu misalnya, selain dapat dikonsumsi, baik direbus, juga dapat menjadi sayur. Dicampur dengan daun tanaman tumpang sari lainnya, seperti daun kacang panjang.

Abd. Halik kembali bernostalgia. Hari itu, masih terasa dingin di lereng “ncanga”, saat. dia, ayah, Ibu, Suhartati, dan Asmah, dua saudaranya, mulai melaksanakan aktivitas rutinnya. Mengurusi tanaman padi yang mulai mendekati berbulir. Agenda hari itu adalah menyiangi tanaman padi dari tanaman pengganggu (gulma).
“Hui” (bahasa Bima, siangi) dulu bagian barat yang di sebelah sana,” pesan, Abd.Thalib, ayahnya sebelum meninggalkan “ncanga” pagi hari itu.
Mungkin dia sudah melihat keadaan rumput yang tumbuh di tengah lebatnya padi ladang yang sedang berbunga tersebut, sehingga menyarankan kepada istri dan anak-anaknya terlebih dulu membersihkan di bagian yang dia sebutkan.
Lonceng menunjuk pukul 07.00 usai Abd.Thalib berkata dan mulai bergerak ke selatan. Ditemani beberapa anjing pemburu yang tangguh dan terlatih, dia melangkah ke arah selatan desa. Melewati jalan setapak, lalu mendaki di antara dua bukit yang lereng di bawahnya dipisahkan oleh sebuah sungai kecil, Kalero. Bukit itu tampak biru dilihat dari lereng “ncanga”. Itu namanya Ramu, tempat Abd.Thalib biasa berburu.

1
2TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Peringatan HUT RI KE 80 di Rammang-Rammang: Menikmati Keindahan Alam dan Meningkatkan Kesadaran Lingkungan

PEDOMANRAKYAT, MAROS.- Rammang-Rammang adalah sebuah kawasan hutan mangrove yang terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kawasan ini dikenal...

Dari Dermaga 1, ke Rammang – Rammang: Menikmati Keindahan Alam Hutan Mangrove

PEDOMANRAKYAT, MAROS - Katanya, perjalanan dari Dermaga 1 dengan perahu menuju Rammang - Rammang adalah sebuah pengalaman yang...

HUT ke-80 RI, Mentan Amran: Indonesia Siap Rebut Swasembada Pangan Tahun Ini

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA — Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa Indonesia siap merebut swasembada pangan dalam waktu...

Bara JP Sulsel Gaungkan Dukungan Prabowo–Gibran Dua Periode, Tegaskan Optimisme Indonesia Maju dan Sejahtera

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Semangat Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia kian bergema di Sulawesi Selatan. Barisan Relawan Jalan Perubahan...