Oleh : Drs. Abd. Kahar Pattola
( Raja Bajeng XIX )
PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Ada suatu ungkapan bahwa “Setiap Masa ada Pemimpinnya dan setiap Pemimpin ada Masanya”, yang mengandung makna bahwa kepemimpinan itu selalu ada, namun dengan karakteristik dan konteks yang berbeda-beda sesuai dengan zamannya, begitu halnya dengan Pahlawan di Kerajaan Bajeng yang pernah memimpin perjuangan melawan Penjajah Belanda diantaranya :1. Tarawe Daeng Limpo (Batang Banoa Mataallo Ri Bajeng).
Pada Tahun 1905, Raja Gowa Ke – XXXIV Imakkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang berperang dengan Belanda di kampung Jongaya, namun pada saat itu, Raja Gowa mengalami kekalahan, sehingga mundur ke Gunung Sari. Oleh karena Belanda terus mengejar sehingga Raja Gowa mundur lagi ke Sungguminasa. Selanjutnya ke Mawang hingga ke Pakkatto menyeberangi Sungai Je’neberang hingga sampai ke Punggawa Kunjung Mange. Pada saat berada di Rumah Punggawa Kunjung Mange ini, Raja Gowa disembunyikan karena kelelahan akibat melarikan diri dari kejaran Belanda. Punggawa Kunjung Mange pun mengirim kurir ke Bajeng untuk menyampaikan keberadaan Raja Gowa kepada Pimpinan Rakyat Bajeng yaitu Tarawe Daeng Limpo bahwa Raja Gowa berada dan disembunyikan di Kunjung Mange. Selanjutnya Tarawe Daeng Limpo mengirim beberapa prajurit Tu Barani Bajeng dan kuda berwarna putih untuk menjemput Raja Gowa ke Bajeng.
Sesampainya di Bajeng, Raja Gowa memohon kepada Rakyat Bajeng yang dipimpin oleh Batang Banoa Mataallo, Batang Banoa Limbung, Batang Banoa Pammase, dan Batang Banoa Ballo dan berkata “Passirikia Tu Bajeng Nasaba Naondamma Antu Balandayya Sanggenna Nia’ma Kamma Mae Ri Bajeng” artinya: Bantulah kami orang Bajeng karena kami (Raja Gowa) telah di permalukan oleh Belanda, kemudian kami dikejar hingga kami berada disini di Bajeng. Maka berkatalah Tarawe Daeng Limpo Batang Banoa Mataallo mewakili Rakyat Bajeng “Teaki Lari Karaeng, Ammantangki Na Siba’ji Taua, Manna La’busu’ Ngasengi Tau Bajeng Tenaja Antu Na Tattiling Buttayya”, artinya: Jangan lari Karaeng (Raja Gowa), tinggallah dan kita akan berperang, meskipun semua orang Bajeng habis terbunuh, bumi ini tidak akan miring. Mendengar perkataan dari Batang Banoa Mataallo, Raja Gowa meneteskan air mata karena terharu menyaksikan kesetiaan dari orang-orang Bajeng kepadanya saat itu.
Selanjutnya kentungan, gendang, lesung, dan sebagainya, dipukul untuk mengumpulkan Rakyat Bajeng untuk berperang melawan tentara Belanda, kemudian rakyat berkumpul di area Bungung Barania menyongsong kedatangan tentara Belanda. Bendera Kerajaan Bajeng yang bernama Jole-Jolea ditancapkan dekat Bungung Barania. Peperangan pun berlangsung selama 2 (dua) hari 2 (dua malam), dan mayat-mayat bertumpuk-tumpuk terutama didekat Jole-Jolea oleh karena Rakyat Bajeng merasa bangga jika mati didekat Bendera Kerajaan Bajeng yang bernama Jole-Jolea. Dalam peperangan itu, Pimpinan Belanda terbunuh, akan tetapi Batang Banoa Limbung juga wafat. Tarawe Daeng Limpo juga terluka pada saat itu karena melindungi Raja Gowa. Selanjutnya tentara Belanda mundur ke Barombong. Untuk memperingati terbunuhnya Pimpinan Belanda, dibangunlah Tugu atau Monumen dikampung Timpoppo’ dekat Kantor Veteran Bajeng.
2. I Tolo Daeng Magassing (Putera dari Jannang Parangma’lengu Bajeng).
Seusai peperangan di Mataallo dekat Bungung Barania pada tahun 1905, Raja Gowa Ke – XXXIV Imakkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang mengundurkan diri bersama rombongannya ke dataran tinggi Sapaya dan selanjutnya ke daerah Bugis. Pada saat itu, tidak ada lagi orang-orang dari Kerajaan Gowa yang berani melawan Belanda, terutama turunan dari Raja-Raja Gowa (pada tahun 1914), namun tampil seorang putera dari Bajeng bersama dengan kelompoknya yang bernama Pagorra Patampuloa yang berani meneror Belanda dan merampok orang-orang kaya yang memihak kepada Belanda dan hasil rampokan tersebut bukan dipakai dan dinikmati oleh mereka, akan tetapi dibagikan kepada orang-orang miskin.
Keberanian dan sepakterjang I Tolok Daeng Magassing sangat meresahkan pasukan Belanda dan juga membuat orang-orang yang memihak Belanda ketakutan. Pada sekitar tahun 1950 sampai dengan sekitar tahun 1970 tahun, keberanian dan keperkasaan I Tolok Daeng Magassing ini terkenal dan menjadi legenda, sehingga apabila ada adegan film pada tahun itu bahkan sampai dengan sekarang dimana pemeran utamanya menunggangi kuda atau muncul untuk memerangi musuh dalam film tersebut, orang orang secara spontan berteriak “adami Tolo’na” artinya : jagoannya sudah datang.
Perjuangan I Tolok Daeng Magassing berakhir pada tahun 1917, setelah tertangkap oleh Belanda dikampung Kalampa Kab. Takalar. I Tolok Daeng Magassaing ditembak mati oleh Belanda, kemudian mayatnya diarak keliling kampung dan dimakamkan dikampung Parapa Desa Pa’kabba Kecamatan Galesong utara Kab. Takalar.