3. Pattola Daeng Bali (anak dari Tarawe Daeng Limpo Batang Banoa Mataallo, cucu dari Kare Manindoro Daeng I Rate Raja Bajeng ke – 17).
Pada tanggal 09 Agustus 1945 s.d 11 Agustus 1945, setelah Hiroshima dan Nagasaki di Bom Atom oleh Sekutu, maka Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Fukushima pimpinan Jepang yang menguasai daerah Limbung dan sekitarnya, mengajak 37 (tiga puluh tujuh) Anrong Tau untuk mengadakan pertemuan di Balla Lompoa Ri Limbung. Fukushima mengatakan bahwa kami orang Jepang telah kalah oleh Sekutu sehingga kami akan meninggalkan Indonesia, selanjutnya tentunya orang- orang Belanda akan kembali lagi ke Indonesia untuk menjajah Indonesia. Oleh sebab itu, apabila kalian ingin melawan Penjajah Belanda tersebut, maka rebutlah senjata-senjata kami dengan strategi sandiwara.
Pada tanggal 13 Agustus 1945, 37 (tiga puluh tujuh) Anrong Tau Ri Bajeng melaksanakan kegiatan A’dinging-Dinging Ri Bungung Barania Mataallo, yang betujuan untuk memantapkan kebulatan tekad mereka untuk melawan Belanda apabila nantinya kembali ke Indonesia untuk menjajah.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, tepatnya di Balla Lompoa Ri Limbung, dikibarkanlah bendera Merah Putih oleh Pattola Daeng Bali, mendahului Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta, pada saat itu Bendera Merah Putih dikibarkan oleh Pattola Daeng Bali berdampingan dengan Bendera Jole-Jolea yang dikibarkan oleh Nuhung Daeng Bani Batang Banoa Mataallo. Bendera Merah Putih yang dikibarkan oleh Pattola Daeng Bali, terbuat dari kain baju bodo merah yang dijelujur dengan kain kaci putih dan di jahit oleh Jumalia Daeng Cowa yang merupakan adik kandung dari Pattola Daeng Bali dan Nuhung Daeng Bani, dan pada hari itu juga, dibentuk suatu kelaskaran dengan nama Laskar Gerakan Pemuda Bajeng (LGPB).
Pada malam tanggal 17 Agustus 1945, berangkatlah Pattola Daeng Bali dengan pasukannya yang berjumlah sebanyak 40 (empat puluh) orang Pemuda, menuju ke markas Jepang yang berada di Coring dan Bontonompo dengan maksud dan tujuan untuk merampas persenjataan Jepang. Dengan strategi sandiwara yang telah disepakati, akhirnya Pattola Daeng Bali dengan pasukannya yang berjumlah sebanyak 40 (empat puluh) orang Pemuda berhasil merampas semua persenjataan Jepang. Kemudian senjata- senjata tersebut disimpan di rumah Nuhung Daeng Bani yang merupakan Pemangku Adat Batang Banoa Mataallo dan Ketua Laskar Gerakan Pemuda Bajeng (LGPB).
Kemudian dari laporan mata-mata Belanda, gerakan perlawan tersebut tercium sehingga Nuhung Daeng Bani ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda dengan tuduhan membentuk kelompok perlawanan kepada Belanda dan juga menyembunyikan senjata. Pada tanggal 16 Juni 1946, Nuhung Daeng Bani meninggal didalam penjara akibat penyiksaan oleh Belanda yang dialaminya, sehingga posisi Ketua Laskar Gerakan Pemuda Bajeng (LGPB), diambil alih oleh Pattola Daeng Bali yang merupakan adik kandung dari Nuhung Daeng Bani.
Pattola Daeng Bali menghimpun para pemuda yang tergabung dalam Laskar Gerakan Pemuda Bajeng (LGPB) untuk melakukan perlawanan kepada Belanda dengan strategi Perang Gerilya, yaitu menyerang pada malam hari dan bersembunyi di siang hari. Markasnya pun berpindah-pindah tempat. Pada tahun 1947, karena gencarnya operasi dari Tentara Belanda, maka Pattola Daeng Bali diserahi tugas baru oleh pimpinan LAPRIS yaitu sebagai Ketua Lipan Bajeng bagian Limbung dan Gowa, dengan markas yang selalu berpindah-pindah tempat untuk mengelabui dari Tentara Jepang. Pattola Daeng Bali bersama dengan 2 (dua) kelompok pejuang yang dipimpinnya, terus melakukan perlawanan kepada Belanda, sampai kepada penyerahan Kedaulatan pada tahun 1949.
Pada tahun 1950, Pattola Daeng Bali diundang oleh Presiden Soekarno ke Istana Negara di Jakarta bersama dengan para pejuang di seluruh Indonesia. Sepulangnya dari Jakarta, Pattola Daeng Bali diangkat menjadi Kepala Distrik Koordinator Limbung dengan gelar Karaeng Limbung. Pattola Daeng Bali juga merupakan Raja Bajeng Ke-18 (delapan belas).
Pattola Daeng Bali wafat pada tahun 1979, oleh karena infeksi pada luka dibagian perutnya akibat terkena peluru dari Tentara Belanda pada saat Tentara Belanda menyerang secara tiba-tiba di Markas Pejuang Lipan Bajeng pada tahun 1948 didaerah Polong Bangkeng Takalar, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.