PEDOMANRAKYAT, BULUKUMBA - Bulukumba, Jumat, 12/09/2025
Sore itu, di sebuah ruang sederhana yang dirancang untuk percakapan. Meski sore ini kita beralih ke room grup whatsapp karena pada live instagram ada kendala teknisi. Jadi, pukul 17.45 wita kami beralih ke room whatsapp untuk memulai sore bercerita dan berakhir pukul 19.07 wita. “Sore Bercerita” menghadirkan satu diskusi yang tampak ringan tetapi sesungguhnya menyimpan pertanyaan mendasar: bagaimana seni tanpa komunikasi visual?
Pertanyaan ini terasa relevan dalam iklim akademis maupun praksis seni kontemporer. Desain Komunikasi Visual (DKV), sebuah disiplin yang kian populer, menjadi titik tolak obrolan. Di banyak kota besar di Indonesia, DKV telah hadir sebagai jurusan yang menampung gelombang anak muda yang haus akan ruang kreatif. Universitas Negeri Makassar adalah salah satunya. Tetapi, sorot mata calon mahasiswa seni seringkali tak berhenti di situ. Ada daya tarik yang khas pada kampus yang sejak awal menancapkan identitasnya sebagai lembaga seni: ISBI, dan terutama, ISI Yogyakarta.
Sebagai salah satu institusi seni tertua di Indonesia, ISI Yogyakarta telah lama menjadi kawah candradimuka lahirnya seniman, desainer, dan intelektual seni. Nama kampus ini seakan menjadi kata kunci yang tak terhindarkan ketika membicarakan pendidikan seni di Indonesia.
Di tengah percakapan sore itu, Dr. Sumbo Tinarbuko, dosen DKV ISI Yogyakarta, memberikan penekanan yang kuat: seni tanpa komunikasi visual adalah entitas yang timpang. Baginya, komunikasi visual bukan sekadar alat bantu, tetapi jantung yang membuat seni berdenyut di era kini.
“Manusia hari ini hampir 99 persen bersentuhan dengan teknologi. Kita berinteraksi melalui layar, simbol, tanda, dan citra. Komunikasi visual adalah jembatan yang membuat teknologi tidak asing, membuat manusia tetap bisa berhubungan satu sama lain. Begitu pun seni. Tanpa komunikasi visual, seni kehilangan ruangnya untuk hadir, untuk bicara, untuk berwarna,” ujarnya dengan nada tenang, seakan sedang menguraikan sebuah tesis panjang dalam kalimat yang sederhana.
Percakapan ini kemudian mengalir ke arah yang lebih filosofis. Moderator acara, Sakkir, menangkap nuansa itu dengan baik. Ia menambahkan bahwa berbincang seni bersama pelaku atau pengajar seni memberi kedalaman tersendiri. “Obrolan ini terasa berbeda. Ia tidak hanya informatif, tetapi juga menghadirkan aura, semacam resonansi pengalaman yang membuat kita sadar bahwa seni bukanlah teori semata, melainkan praktik hidup,” tuturnya.
Pada akhirnya, Dr. Sumbo menutup dialog dengan sebuah pernyataan yang terasa sederhana tetapi sarat makna: seni adalah ruang kebebasan. Kebebasan untuk berekspresi, untuk mencipta, untuk menolak diam. Tetapi, kebebasan itu menemukan bobotnya hanya ketika lahir dalam karya.
“Seni yang tidak digerakkan oleh komunikasi visual, dalam arti tidak terhubung komunikasi visual maka itu masih proses produksi. Bisa dikatakan itu masih dalam studio, kesannya tidak pernah sampai,” pungkasnya.
Diskusi di Rumah Buku SaESA itu mungkin hanya satu fragmen kecil dari perjalanan panjang seni di Indonesia. Namun dari fragmen kecil itulah kita belajar: seni tidak pernah benar-benar sunyi dari komunikasi visual. Sebab melalui visual-lah, seni bicara, memanggil, dan melampaui batas waktu. "Pastinya diskusi Sore Bercerita ini tidak sampai di sini saja, tetapi kita masih ada beberapa sesi kedepan yang fokus pada desain komunikasi visual, yaitu pengajian DKV bersama Dr. Sumbo Tinarbuko," tutup Sakkir.
( Musakkir Basri )