Kuasa hukum keluarga korban, Muhammad Fadjrin, SH, MH, mengecam keras langkah itu. “Bagaimana mungkin korban sudah meninggal, tetapi pasal yang dikenakan hanya ayat (1)? Seharusnya pasal 80 ayat (3) junto pasal 79 ayat (3) UU Perlindungan Anak dan pasal 351 ayat (3) KUHP. Jika penyidik tetap memaksakan pasal ringan, ini jelas melecehkan rasa keadilan,” tegasnya saat menggelar konferensi pers di Mapolda Sulsel, Kamis (18/9/2025).
Keluarga Rifqila mengaku mendapat tekanan dari sejumlah pihak agar kasus ini diselesaikan lewat jalur damai. Namun, Ruslan dengan tegas menolak segala bentuk kompromi.
“Tidak ada damai, tidak ada mediasi. Nyawa anak saya tidak bisa ditukar dengan apapun. Kami menuntut hukuman maksimal bagi pelaku,” ujarnya dengan nada penuh emosi.
Ketua LSM INAKOR Sulsel, Asri, turut menyoroti kejanggalan penanganan perkara ini. Menurutnya, perubahan pasal menjadi bukti nyata adanya intervensi untuk melindungi pelaku.
“Perubahan pasal dari ayat (3) ke ayat (1) jelas mencederai rasa keadilan. LSM INAKOR mendesak Polda Sulsel menegakkan hukum secara objektif tanpa pandang bulu. Jika dibiarkan, kasus ini akan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum,” tegasnya.
Jika pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak benar diterapkan, pelaku dapat terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. Ditambah pasal 351 ayat (3) KUHP, ancamannya mencapai 7 tahun penjara. Kombinasi ini jauh lebih relevan dengan fakta bahwa korban telah kehilangan nyawanya.
Kasus Rifqila Ruslan kini menjadi ujian serius bagi Polda Sulsel dan Polres Luwu. Gelar perkara khusus yang seharusnya mengungkap kebenaran, justru dipandang sebagai langkah yang memperkuat dugaan rekayasa hukum.
Jika aparat gagal menegakkan hukum secara adil, publik hanya akan semakin yakin bahwa hukum di negeri ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Keadilan untuk Rifqila Sultan bukan hanya soal satu keluarga, tetapi tentang harapan masyarakat bahwa hukum masih bisa berpihak pada kebenaran. (*/And)