Apa yang membuat angka kerukunan ini tinggi? Ada banyak faktor. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang aktif. Program pemerintah daerah yang konsisten. Peran tokoh agama dan masyarakat yang tak kenal lelah. Plus satu lagi yang sering terlupakan: tradisi lokal. Kearifan yang diwariskan orang tua kita, yang sudah terbukti menjaga harmoni sejak lama.
Namun, mari jujur bahwa angka 80,84 itu bukan garis akhir. Ia baru titik koma. Masih ada pekerjaan panjang. Pemerintah sudah menyiapkan strategi dengan memperkuat kearifan lokal, melatih tokoh agama, memperluas ruang dialog lintas iman. Tapi strategi tanpa partisipasi masyarakat hanya akan tinggal rencana.
Karena itu, menjaga kerukunan bukan hanya urusan pemerintah. Bukan pula sekadar tugas FKUB. Ini tugas kita semua, yang muslim, kristiani, hindu, buddha, bahkan yang mungkin hanya percaya pada nilai-nilai kebaikan. Yang Bugis, Jawa, Toraja, Bali, Pamona,Padoe atau siapa pun dari 27 anak suku yang hidup di Luwu Timur.
Dengan indeks kerukunan diatas, Luwu Timur sudah membuktikan perbedaan tidak harus jadi alasan retak. Perbedaan justru bisa jadi alasan untuk lebih kuat.
Angka kerukunan tahun ini naik 0,37 poin dari tahun lalu. Kecil memang, tapi bukankah rumah yang kokoh selalu dibangun dengan menambahkan satu batu demi satu batu ? Begitu juga kerukunan. Ia tidak lahir dari deklarasi besar-besaran. Ia lahir dari hal-hal kecil: senyum di pasar, sapaan di jalan, doa bersama ketika ada musibah.
Kerukunan adalah pekerjaan seumur hidup. Ia tidak pernah selesai. Tapi selama kita mau menjaganya, selama kita mau saling mengingatkan, Luwu Timur akan tetap jadi contoh kecil tentang apa itu Indonesia: beragam, tapi rukun.
Dan bukankah itu yang kita semua impikan?