Lebih lanjut, ia menilai adanya ketimpangan dalam penetapan tersangka. Nilawati yang menerima Rp48 juta ditetapkan sebagai tersangka, namun pihak lain yang diduga menerima aliran dana jauh lebih besar, yakni Heni Adam dengan jumlah Rp90 juta, hingga kini belum tersentuh hukum.
“Kenapa yang menerima Rp48 juta sudah jadi tersangka, sementara yang menerima Rp90 juta belum? Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi terlapor utama pun sampai sekarang belum ditetapkan sebagai tersangka,” tegasnya.
Dalam pertemuan tersebut, tim kuasa hukum juga sempat beradu argumen dengan penyidik. Pihak penyidik menyampaikan bahwa gelar perkara akan digelar pada Rabu (24/9/2025) besok pukul 13.00 WITA. Kuasa hukum pelapor meminta agar mereka diikutsertakan dalam forum tersebut dan diberikan hak untuk menyampaikan pendapat.
“Kami sudah minta agar diberi hak suara dalam gelar perkara besok. Karena menurut kami, ini penting untuk menjelaskan posisi hukum, serta mendalami siapa saja pihak yang berperan sebagai pelaku utama,” jelas Alvian.
Selain itu, kuasa hukum juga menekankan agar penyidik mendalami prosedur pencairan kredit yang dianggap janggal. Pasalnya, dokumen asli berupa SK pensiun Hatibu masih tersimpan di Bank BRI Takalar, sementara kredit diduga sudah dicairkan melalui Bank Woori.
“Ini harus didalami, apakah memang sesuai SOP pencairan kredit atau justru ada pelanggaran prosedur. Jika mengacu pada protap, seharusnya hal seperti ini tidak bisa terjadi. Maka penyidik perlu serius menelusuri,” tandasnya.
Tim kuasa hukum Hatibu berharap agar penanganan perkara ini tidak lagi berlarut-larut, mengingat sudah berlangsung cukup lama tanpa perkembangan berarti. Mereka mendesak penyidik untuk segera menuntaskan penyidikan, menetapkan para pihak yang diduga terlibat, dan menyerahkan berkas ke kejaksaan agar bisa segera masuk ke proses persidangan. (*/And)