PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Tim kuasa hukum Hatibu, selaku pelapor dalam kasus dugaan penyalahgunaan proses pengalihan (takeover) kredit dari Bank BRI Takalar ke Bank Woori, kembali mempertanyakan kinerja penyidik Polrestabes Makassar. Mereka menilai proses penanganan perkara tersebut terkesan lamban dan tidak memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Kuasa hukum pelapor, Alvian, menjelaskan bahwa hingga saat ini baru satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Nilawati. Padahal, menurut pihak pelapor, terdapat sejumlah pihak lain yang seharusnya turut dimintai pertanggungjawaban hukum.
“Memang sudah ada satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Nilawati. Namun setelah itu, penyidik juga sudah memeriksa beberapa saksi dan tersangka. Sayangnya, proses penetapan tersangka lain terkesan lambat. Itulah yang kami pertanyakan hari ini, apa sebenarnya hambatannya,” ujar Alvian saat ditemui di Mapolrestabes Makassar, Selasa (23/9/2025).
Alvian menambahkan, masyarakat sangat membutuhkan kepastian hukum, apalagi dalam perkara yang melibatkan aliran dana dengan jumlah besar. Menurutnya, bukan hanya Nilawati, tetapi juga pihak lain yang disebut-sebut menerima uang seharusnya bisa segera ditetapkan sebagai tersangka.
“Baik itu Muhammad Yunus selaku terlapor, maupun pihak yang menerima dana, seharusnya bisa ditetapkan sebagai tersangka. Namun dari penyidik, mereka beralasan masih menunggu rangkaian proses selanjutnya dan akan menggelar perkara terlebih dahulu,” imbuhnya.
Pihak kuasa hukum juga menyoroti hasil koordinasi mereka dengan Kejaksaan Negeri. Berdasarkan informasi yang diterima, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam perkara ini sudah dua kali dikembalikan.
“Setelah sidang di pengadilan, kami sempat menyeberang ke kejaksaan untuk menanyakan perkembangan SPDP. Ternyata SPDP ini sudah dua kali dikembalikan. Pertama pada November lalu, lalu diterbitkan lagi di bulan Mei. Sekarang sudah masuk bulan September, dan faktanya berkas itu dikembalikan lagi. Itu artinya ada persoalan serius dalam proses penyidikannya,” ungkap Alvian.
Lebih lanjut, ia menilai adanya ketimpangan dalam penetapan tersangka. Nilawati yang menerima Rp48 juta ditetapkan sebagai tersangka, namun pihak lain yang diduga menerima aliran dana jauh lebih besar, yakni Heni Adam dengan jumlah Rp90 juta, hingga kini belum tersentuh hukum.
“Kenapa yang menerima Rp48 juta sudah jadi tersangka, sementara yang menerima Rp90 juta belum? Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi terlapor utama pun sampai sekarang belum ditetapkan sebagai tersangka,” tegasnya.
Dalam pertemuan tersebut, tim kuasa hukum juga sempat beradu argumen dengan penyidik. Pihak penyidik menyampaikan bahwa gelar perkara akan digelar pada Rabu (24/9/2025) besok pukul 13.00 WITA. Kuasa hukum pelapor meminta agar mereka diikutsertakan dalam forum tersebut dan diberikan hak untuk menyampaikan pendapat.
“Kami sudah minta agar diberi hak suara dalam gelar perkara besok. Karena menurut kami, ini penting untuk menjelaskan posisi hukum, serta mendalami siapa saja pihak yang berperan sebagai pelaku utama,” jelas Alvian.
Selain itu, kuasa hukum juga menekankan agar penyidik mendalami prosedur pencairan kredit yang dianggap janggal. Pasalnya, dokumen asli berupa SK pensiun Hatibu masih tersimpan di Bank BRI Takalar, sementara kredit diduga sudah dicairkan melalui Bank Woori.
“Ini harus didalami, apakah memang sesuai SOP pencairan kredit atau justru ada pelanggaran prosedur. Jika mengacu pada protap, seharusnya hal seperti ini tidak bisa terjadi. Maka penyidik perlu serius menelusuri,” tandasnya.
Tim kuasa hukum Hatibu berharap agar penanganan perkara ini tidak lagi berlarut-larut, mengingat sudah berlangsung cukup lama tanpa perkembangan berarti. Mereka mendesak penyidik untuk segera menuntaskan penyidikan, menetapkan para pihak yang diduga terlibat, dan menyerahkan berkas ke kejaksaan agar bisa segera masuk ke proses persidangan. (*/And)