PEDOMANRAKYAT, JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terus menjadi sorotan publik. Dari sekian banyak akademisi, nama Prof. Dr. Harris Arthur Hedar menonjol sebagai salah satu yang paling sering dikutip media karena pandangannya yang tajam dan kritis.
Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) ini menilai sejumlah pasal dalam RUU Perampasan Aset berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Setidaknya ada lima pasal yang ia sebut multitafsir, mulai dari ketentuan perampasan tanpa putusan pidana, perampasan meski proses hukum masih berjalan, hingga aturan ambang batas nilai aset.
“RUU ini memang punya tujuan mulia untuk memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi. Tetapi jika pasal-pasal multitafsir ini dibiarkan, justru bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum,” tegasnya dalam sebuah diskusi hukum yang dikutip sejumlah media nasional.
Harris mengingatkan, penerapan RUU harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar hukum, terutama asas praduga tak bersalah. Ia khawatir, masyarakat yang lemah dalam pencatatan administrasi bisa dirugikan, bahkan ketika bukan pelaku tindak pidana. Ia juga menyoroti pasal yang memungkinkan perampasan aset meski tersangka telah meninggal dunia, kabur, atau bahkan dibebaskan.
Meski tidak terlibat langsung dalam penyusunan naskah akademik RUU, suara Harris kerap dijadikan rujukan dalam diskusi publik. Pandangan kritisnya membuat ia dipandang sebagai salah satu figur akademisi yang ikut mewarnai perdebatan tentang urgensi dan desain hukum RUU Perampasan Aset.
Profil Singkat: Akademisi Multigelar dari Makassar
Lahir di Makassar pada 24 Juni 1962, Harris Arthur Hedar menempuh perjalanan panjang di dunia akademik. Media menyebutnya sebagai “pemilik 12 gelar” — sebuah capaian yang jarang ditemui di Indonesia. Pada Januari 2024, ia resmi dikukuhkan sebagai Profesor bidang Hukum Kebijakan Publik di UNM.