Gelombang Kritik Menguat, Skandal Kriminalisasi Pelapor Kasus Tanah Ancam Wibawa Penegak Hukum

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Publik Sulawesi Selatan digemparkan oleh sebuah skandal hukum yang menyeret nama Daeng Aco. Pria yang sejak 2019 tercatat sebagai pelapor kasus dugaan penipuan dan penggelapan tanah seluas delapan hektare, kini justru berubah status menjadi terdakwa. Perkara yang semestinya membela haknya, berbalik menghantam dirinya sendiri, hingga memicu dugaan kuat adanya rekayasa dan permainan kotor dari oknum aparat penegak hukum.

Kasus ini bahkan dijuluki sejumlah aktivis sebagai “Djoko Tjandra versi Makassar”, merujuk pada carut-marut penanganannya yang penuh kejanggalan. Laporan polisi dengan nomor LP/321/POLDA SULSEL/2019/RESTABES MKSR, yang di awal ditujukan untuk mencari keadilan, justru menjebak sang pelapor di balik jeruji besi. Aco kini harus menghadapi persidangan dengan nomor perkara 889/Pid.Sus/2025/PN.Mks.

Dari balik sel tahanan, Aco berteriak lantang.

“Saya Aco, saya adalah korban kriminalisasi hukum dan penyelewengan keadilan oleh oknum penyidik Polda Sulsel bersama oknum jaksa penuntut umum,” ujarnya dengan suara bergetar namun penuh emosi.

Pernyataan itu sempat direkam salah seorang wartawan online dan beredar luas di kalangan jurnalis. Rekaman tersebut menambah panjang daftar kontroversi sekaligus memperkuat persepsi publik bahwa penegakan hukum di Makassar tengah berada di titik nadir.

Dari penelusuran, sedikitnya terdapat beberapa kejanggalan mencolok dalam proses hukum yang menimpa Aco. Pertama, status buronan (DPO) terhadap dirinya disebutkan sempat dicabut hingga tiga kali. Namun anehnya, berkas perkara juga dinyatakan lengkap (P.21) sebanyak tiga kali, tetapi tak kunjung disidangkan secara tuntas.

Kedua, munculnya dua surat penetapan tersangka berbeda untuk kasus yang sama. Surat pertama menetapkan tiga orang sebagai tersangka, namun surat berikutnya hanya menyisakan nama Aco seorang diri. Fenomena ganjil ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan praktisi hukum.

Baca juga :  Wujudkan Keamanan dan Kenyamanan, Polsek Paotere Rutin Patroli Dialogis dan Pengawasan di Pelabuhan

“Dua penetapan tersangka dalam satu kasus adalah cacat hukum. Itu ilegal dan bisa dibatalkan melalui mekanisme praperadilan. KUHAP jelas mengatur bahwa penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah,” tegas salah seorang pakar hukum pidana dari Universitas Hasanuddin yang enggan disebutkan namanya.

Ketua LSM Forum Rakyat Bersatu, Hendra Syam, turut melontarkan kritik keras. Menurutnya, praktik kriminalisasi terhadap pelapor adalah preseden buruk yang bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum.

“Kalau hukum dipaksa berjalan dengan dasar yang cacat, itu bukan lagi penegakan hukum, tapi penyalahgunaan wewenang. Rakyat berhak tahu kebusukan ini. Jangan sampai hukum dijadikan alat untuk menindas rakyat kecil,” ucap Hendra dengan nada tinggi saat menggelar konferensi pers di warkop bilangan kota Makassar, Jumat (26/9/2025).

Ia menambahkan, skandal ini mengingatkan kembali pada tragedi pembakaran kantor DPRD Makassar beberapa tahun lalu, ketika amarah rakyat memuncak karena aparat dianggap berpihak pada kekuatan modal dan politik, bukan pada keadilan.

Tak sedikit pihak menduga bahwa proses hukum yang menjerat Aco sarat dengan “pesanan” dari pihak berkantong tebal. Hal ini semakin memperkuat stigma bahwa hukum di Indonesia bisa diperjualbelikan, tergantung siapa yang memiliki uang dan pengaruh.

“Kalau hukum bisa diperdagangkan, maka keadilan hanya milik mereka yang berduit. Ini bahaya besar bagi masa depan negara hukum kita,” lanjut Hendra.

Skandal ini pun menjadi ujian serius bagi Kapolri dan Jaksa Agung. Publik kini menanti, apakah pimpinan dua institusi penegak hukum tersebut akan membiarkan nama lembaga mereka tercoreng oleh ulah segelintir oknum, ataukah berani turun tangan langsung membersihkan praktik-praktik kotor yang mencabik wajah keadilan di Sulawesi Selatan.

Baca juga :  Gerbong Mutasi Kembali Bergulir, Wabup Lantik Muzakkir Muin, SP Sebagai Staf Ahli

Masyarakat sipil, aktivis hukum, hingga sejumlah akademisi sepakat bahwa kasus Aco tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Mereka menegaskan bahwa kriminalisasi pelapor bukan hanya melanggar asas hukum, tetapi juga mencederai prinsip demokrasi yang menjamin hak setiap warga untuk mencari keadilan.

“Bila hukum terus diperdagangkan, maka negara ini hanya akan menjadi panggung sandiwara bagi para pemilik modal. Jangan biarkan keadilan hanya jadi komoditas,” tutup Hendra. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Mentan Amran Ajak Generasi Muda Jadi Motor Kebangkitan Pertanian Indonesia

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memberikan kuliah umum di hadapan mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar,...

Pangdam XIV/Hasanuddin Ikuti Vicon Launching SPPG TNI, Bagikan 1.528 Porsi Makanan Bergizi

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Pangdam XIV/Hasanuddin, Mayjen TNI Windiyatno, mengikuti video conference Launching Operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)...

Musprov VI PSMTI Kalsel Dorong Regenerasi dan Sinergi Organisasi

PEDOMANRAKYAT, BANJARMASIN - Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Kalimantan Selatan menggelar Musyawarah Provinsi (Musprov) VI di...

Desa Manunggal Gelar Musrenbangdes 2025, Rancang RKPDes 2026

PEDOMANRAKYAT, LUTIM - Pemerintah Desa Manunggal, Kecamatan Tomoni Timur, Kabupaten Luwu Timur, menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes)...