MBG Adalah Bencana Nasional Indonesia

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh: Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL (Direktur LKBH Makassar, Advokat dan Konsultan Hukum)

Di negeri kepulauan ini, bencana biasanya datang dengan gemuruh: banjir, longsor, gempa, atau letusan gunung berapi. Tetapi kali ini, bencana itu datang tanpa suara. Ia menyelinap melalui botol-botol dan kotak-kotak makanan, dipajang rapi, dibagikan dengan janji menyehatkan. Seharusnya menjadi penolong, tetapi justru menjadi racun.

MBG kini bukan lagi sekadar nama program — ia adalah nama luka. Ia adalah wajah anak-anak yang terkulai di ruang gawat darurat, wajah para ibu yang kehilangan harapan, wajah rakyat kecil yang hanya ingin makan dan minum yang layak, tetapi dipaksa menelan racun.

Fakta Bencana

Data tak bisa lagi disembunyikan. Hingga 19 September 2025, 5.626 orang tercatat keracunan makanan MBG di 17 provinsi (CISDI). Lebih dari 4.000 anak keracunan hanya dalam periode Januari–Agustus 2025 (Indef).

569 siswa di Garut, 277 siswa di Banggai, 121 siswa di Sumatera Selatan, dan puluhan siswa di Cianjur—semuanya tumbang setelah menyantap menu MBG. Hasil uji laboratorium dari UGM dan UMS menemukan bakteri E. coli dan Salmonella dalam beberapa menu.

Bahkan Kabupaten Cianjur sampai menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Tetapi mengapa negara ini tidak menegaskan status yang sama di tingkat nasional?

Bencana Hukum dan Korupsi

Undang-undang sudah bicara lantang. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menjamin hak atas keamanan dan keselamatan. UU Pangan mengharuskan pangan aman dan bermutu. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak atas hidup sehat. Bahkan Pasal 204 KUHP bisa menjatuhkan pidana seumur hidup bagi mereka yang mengedarkan barang berbahaya.

Namun apa gunanya hukum bila fakta justru memperlihatkan korupsi merajalela di balik program ini? Anggaran MBG mencapai Rp 170 triliun, angka yang sangat besar, namun KPK sudah memperingatkan risiko korupsi yang nyata. Isu pemotongan dana, pengadaan tak transparan, serta standar mutu yang dipaksakan dengan anggaran minim memperlihatkan bahwa MBG tidak hanya soal kesehatan, tapi juga soal kerakusan.

Baca juga :  Bazar Amal Jadi Panggung Inspirasi: Brigpol Ridha Sulap Momen Sosial Jadi Inspirasi Kemanusiaan

Maka jelaslah: racun MBG bukan hanya di dalam makanan, tapi juga di dalam sistem birokrasi yang mengelolanya.

Perspektif Yurisprudensi dan Internasional

Yurisprudensi nasional sudah memberi cermin. Dalam Putusan MA No. 2439 K/Pid.Sus/2011 dan No. 1154 K/Pid.Sus/2014, pelaku usaha makanan berbahaya divonis pidana karena mengancam kesehatan publik. Artinya, preseden hukum untuk menjerat pelaku sudah ada.

Di tingkat internasional, ICESCR (UU No. 11 Tahun 2005) menjamin hak atas kesehatan. Codex Alimentarius (FAO–WHO) menegaskan standar pangan aman. Dan UNCAC (UU No. 7 Tahun 2006) mewajibkan negara menindak korupsi yang merusak hajat hidup orang banyak. Semua norma itu kini berteriak pada kita: MBG adalah pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang berdampak sistemik.

Bencana alam memang tak bisa dicegah, tetapi bencana MBG adalah buatan tangan manusia. Ia lahir dari keserakahan industri, dipelihara oleh lemahnya pengawasan, dan diperkuat oleh racun bernama korupsi.

Karena itu, MBG bukan sekadar masalah kesehatan. Ia adalah bencana nasional Indonesia—bencana hukum, bencana moral, dan bencana korupsi yang menggerogoti sendi bangsa.

Dan sebagaimana setiap bencana nasional, penanganannya hanya mungkin dengan keberanian: keberanian mengusut, keberanian menindak, dan keberanian membersihkan korupsi yang membiarkan racun ini beredar.

Sebab pada akhirnya, hukum dan negara hanya akan berarti bila berdiri di sisi rakyat, bukan di sisi botol-botol dan kotak-kotak beracun yang dibungkus janji manis.

*Tentang Penulis : Muhammad Sirul Haq, SH adalah seorang advokat dan aktivis bantuan hukum yang cukup vokal di Makassar, terutama terkait masalah tanah, waris, dokumentasi kepemilikan lahan, dan pengawasan aparat penegak hukum terhadap prosedur.

Ia memimpin organisasi bantuan hukum (LKBH Makassar). Advokat dan konsultan hukum, Pengacara Makassar Indonesia dengan pengalaman dalam litigasi perdata, pidana, agraria, dan hukum administrasi negara.

Baca juga :  Rakernas 2025, Dekranasda Pinrang Siap Dukung Pengembangan Usaha Pengrajin Lokal

Pimpinan kantor hukum Muhammad Sirul Haq, SH & Rekan ini, aktif mendampingi masyarakat pencari keadilan, khususnya dalam sengketa pertanahan, korban pelanggaran HAM, dan advokasi kebijakan publik serta lingkungan. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Akhiri Kesalahpahaman, Wartawan dan Oknum Intel Kodam Sepakat Berdamai di Kodim Wajo

PEDOMANRAKYAT, WAJO - Perselisihan yang sempat menyita perhatian publik antara wartawan Edi Sudirman, yang akrab disapa Edi Prekendes,...

Litha Brent Protes Lelang Aset, ‘Nilai Tidak Masuk Akal, Prosedur Tak Jelas

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Mantan anggota DPD RI asal Sulawesi Selatan, Litha Brent, memprotes tindakan kurator yang melelang aset...

Ketum PSMTI Willianto: “Gus Dur Adalah Jembatan Hati, Kita Berutang Terima Kasih ”

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Ada kehangatan dalam suara Ketua Umum PSMTI Pusat, Wilianto Tanta, ketika berbicara tentang penetapan KH....

BAZNAS dan Pemkot Makassar Perkuat Sinergi, Wujudkan Kota Ramah Lansia

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Kepala Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Makassar, Dr. H.M. Ashar Tamanggong, menerima kunjungan silaturahmi...