PEDOMANRAKYAT, BULUKUMBA - Ruang diskusi di Rumah Buku SaESA sore itu berubah menjadi kelas terbuka di Google Meet. Sore Bercerita edisi kedua menghadirkan “pengajian seni” yang spesial, dengan narasumber utama Dr. Sumbo Tinarbuko, dosen Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta sekaligus penulis buku Semiotika Komunikasi Visual.
Sejak 2022, Rumah Buku SaESA rutin membicarakan seni dan desain. Namun, kali ini tema terasa lebih akademis: semiotika. Sebuah kajian tentang tanda, yang dalam praktik desain visual tak sekadar soal rupa, melainkan juga makna.
“Penting bahwa semiotika itu lebih demokratis,” ujar Dr. Sumbo. “Kalau orang belajar semiotika, maka desain yang dibuat akan memiliki makna simbolik.”
Diskusi mengalir pada pembahasan warna, tipografi, dan komposisi visual sebagai sistem tanda. Semua itu, menurut Dr. Sumbo, adalah bahasa yang membentuk persepsi audiens. Ia menekankan bahwa sejak manusia lahir, kita sudah membawa tanda-tanda sesuai fase usia. Inilah yang ia sebut sebagai sign language kehidupan.
Salah satu peserta, Pak Teguh, mengajukan pertanyaan apakah semiotika visual pada akhirnya hanya berujung pada ranah copywriting. Dr. Sumbo menegaskan bahwa semiotika jauh lebih luas. “Semiotika itu adalah pengetahuan tentang tanda dan penanda. Membuat dan melihat karya pada akhirnya akan membawa kita pada simbolik,” jelasnya.
Diskusi yang berlangsung pukul 17.00 wita - 18.25 wita atau hampir dua jam itu ditutup dengan refleksi dari moderator, Sakkir. Ia menekankan bahwa pengajian DKV sore ini bukan hanya menambah wawasan, melainkan juga mengajak peserta memahami bagaimana perancang, pembuat, dan pelihat karya saling terhubung lewat tanda, simbol, dan makna.
Dengan begitu, Sore Bercerita #2 bukan sekadar ruang berbagi, tetapi juga laboratorium kecil yang mempertemukan praktik seni, teori akademis, dan percakapan hangat khas komunitas yang dirawat oleh Rumah Buku SaESA.
( Musakkir Basri )