Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, sektor pertanian mendapatkan napas baru yang berlandaskan ketegasan visi, keberanian mengambil keputusan dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Loyalitas para penggerak di lapangan, para petani, penyuluh, dan tenaga pendukung, bertemu dengan arah kebijakan yang jelas. Itulah harmoni antara pemimpin dan rakyat yang dalam falsafah Bugis disebut assituruseng, saling menopang untuk satu tujuan bersama.
Tak hanya produksi yang menanjak, Nilai Tukar Petani (NTP) pun turut menguat. BPS mencatat pada September 2025, NTP nasional mencapai 124,36, naik dari 123,57 atau naik 0,63 persen dari bulan sebelumnya.
Angka ini mencerminkan bahwa kesejahteraan petani meningkat, karena harga yang mereka terima lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang harus mereka keluarkan. Di balik setiap peningkatan NTP, ada kerja keras tanpa lelah di bawah terik matahari, ada tangan-tangan yang menanam dengan keyakinan dan ada kebijakan yang berpihak pada mereka.
Kini, ketika dunia menatap Indonesia dengan rasa hormat atas ketahanan pangannya, masyarakat Nusantara patut merenung sejenak: bahwa keberhasilan ini bukan datang dari langit, melainkan hasil dari resopa, kerja keras yang tak mengenal lelah.
Falsafah leluhur Bugis-Makassar mengajarkan bahwa “tenna sirinna, na tenna pakita tau, na tenna pammase Dewata”, tanpa kesungguhan hati, tanpa penghormatan pada sesama dan tanpa ridho Tuhan, tiadalah keberhasilan yang sejati.
Karena itu, capaian beras tahun 2025 bukan semata prestasi teknokratik, tetapi perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa, kerja keras, kejujuran, loyalitas dan pengabdian.
Di bawah kepemimpinan yang tegas dan visioner, Indonesia kini menapaki jalan menuju kedaulatan pangan. Dan di sawah-sawah yang menguning itu, terselip doa dan keyakinan, bahwa dari butir padi yang tumbuh di bumi pertiwi, lahirlah martabat bangsa yang berdiri di atas keringat rakyatnya sendiri.
Eramas, 2000, 05 Oktober 2025
Penulis, Aktivis dan Pemerhati Organisasi.