Sementara itu, Dr. Aryati Puspasari Abady dari Dinas Perpustakaan Sulsel menyoroti pentingnya budaya menulis di tengah derasnya arus digital.
“Tidak semua orang bisa menulis buku. Saya sendiri belum punya,” katanya jujur.
Ia mengungkapkan bahwa Makassar memiliki tingkat literasi hingga 79 persen, namun tantangan terbesar adalah distraksi digital.
“Bacaan terbaik tetaplah buku. Dunia digital membuat kita membaca potongan-potongan, seolah tahu banyak, padahal hanya sepintas.”
Buku yang Menghidupkan Nilai Ketabahan
Dalam sesi bincang buku, Rahman Rumaday ( fauder K-Apel ) mengaku sempat berhenti membaca karena terbawa emosi oleh kisah nyata Heny.
“Saya merasa seperti menjadi Ibu Heny. Anak kampung yang tak dianggap, tapi mampu jadi sarjana S2. Ia ditinggal berjuang, tak menuntut harta gono-gini, namun selalu melibatkan Allah dalam setiap keterpurukan.”
Sementara Asrul Sani menilai buku ini sebagai warisan berharga:
“Ini bukan sekadar kisah pribadi, tapi legasi untuk anak cucu. Heny menulis dengan hati yang pernah disakiti, namun menjadikannya kekuatan.”
Ia menutup dengan pesan inspiratif:
“Ada tiga hal yang harus dimiliki jika ingin menulis — kemauan, konsistensi, dan keberanian.”
Acara Launching & Bincang Buku “Mimpi yg yang Tak Dianggap” bukan hanya merayakan terbitnya karya, tapi juga lahirnya semangat baru di dunia literasi lokal. Kisah Heny Suhaeny membuktikan bahwa mimpi sekecil apa pun layak diperjuangkan, bahkan ketika tak dianggap. ( ab )