Launching & Bincang Buku Karya Heny Suhaeny di Aula BSI Makassar, Senin 6 Oktober 2025
PEDOMAN RAKYAT - MAKASSAR. Suasana hangat menyelimuti Aula BSI di Jalan Sungai Saddang, Makassar, Senin (6/10/2025), saat berlangsung Launching & Bincang Buku berjudul “Mimpi yang Tak Dianggap”, karya Heny Suhaeny. Acara ini dihadiri sejumlah tokoh akademisi dan pengusaha di antaranya Prof. Muh. Asdar, Drs. Suhardy (Ketua APINDO Sulsel), Dr. Aryati Puspasari Abady (Kepala Dinas Perpustakaan Sulsel), Dahlan Abubakar serta para penulis dan pemerhati literasi.
Kepedihan Menjadi Inspirasi
Heny Suhaeny—lahir di Bone, lulusan STIMIK Handayani (S1) dan Universitas Indonesia Timur (S2)—kini dikenal sebagai owner Shean Beauty, sebuah produk skincare lokal yang berkembang pesat. Namun di balik kesuksesan itu, tersimpan kisah getir yang ia tuliskan jujur dalam bukunya.
“Saya bukan pewaris, tapi perintis,” ujar Heny dalam sesi bincang.
“Saya menulis bukan untuk mencari keuntungan atau popularitas. Jika pun ada keuntungan, saya ingin alirkan untuk kegiatan sosial. Buku ini saya persembahkan sebagai jejak untuk anak cucu.”
Lewat narasi yang lugas dan emosional, Heny berbagi perjalanan hidup yang penuh ujian—tentang kehilangan orang yang seharusnya menjaganya, perjuangan, dan keyakinan pada takdir. Ia menulis, “Saya pernah bermimpi di tengah sunyi, bahkan tak ada yang percaya ," Bahkan oleh diriku sendiri.
Apresiasi Para Tokoh
Prof. Muh. Asdar dalam sambutannya menegaskan pentingnya menghargai karya dan perjuangan pribadi.
“Kita perlu memberi penghargaan. Jangan sekadar meniru,” katanya.
Ia menyebut buku Heny sebagai “luka yang menghasilkan cahaya”, dan menilai bahwa manusia yang sungguh mulia adalah mereka yang hidup untuk memberi.
Ketua APINDO Sulsel, Drs. Suhardy, juga memberikan apresiasi tinggi.
“Hebatnya, produk skincare Shean Beauty baru dua tahun lahir, tapi sudah melahirkan buku. Biasanya butuh sepuluh tahun baru sampai ke tahap itu,” ujarnya sembari menyebut bahwa marketing terbaik adalah yang mampu menjual sesuatu yang tidak kasat mata—seperti asuransi dan ide besar di balik sebuah buku.
Sementara itu, Dr. Aryati Puspasari Abady dari Dinas Perpustakaan Sulsel menyoroti pentingnya budaya menulis di tengah derasnya arus digital.
“Tidak semua orang bisa menulis buku. Saya sendiri belum punya,” katanya jujur.
Ia mengungkapkan bahwa Makassar memiliki tingkat literasi hingga 79 persen, namun tantangan terbesar adalah distraksi digital.
“Bacaan terbaik tetaplah buku. Dunia digital membuat kita membaca potongan-potongan, seolah tahu banyak, padahal hanya sepintas.”
Buku yang Menghidupkan Nilai Ketabahan
Dalam sesi bincang buku, Rahman Rumaday ( fauder K-Apel ) mengaku sempat berhenti membaca karena terbawa emosi oleh kisah nyata Heny.
“Saya merasa seperti menjadi Ibu Heny. Anak kampung yang tak dianggap, tapi mampu jadi sarjana S2. Ia ditinggal berjuang, tak menuntut harta gono-gini, namun selalu melibatkan Allah dalam setiap keterpurukan.”
Sementara Asrul Sani menilai buku ini sebagai warisan berharga:
“Ini bukan sekadar kisah pribadi, tapi legasi untuk anak cucu. Heny menulis dengan hati yang pernah disakiti, namun menjadikannya kekuatan.”
Ia menutup dengan pesan inspiratif:
“Ada tiga hal yang harus dimiliki jika ingin menulis — kemauan, konsistensi, dan keberanian.”
Acara Launching & Bincang Buku “Mimpi yg yang Tak Dianggap” bukan hanya merayakan terbitnya karya, tapi juga lahirnya semangat baru di dunia literasi lokal. Kisah Heny Suhaeny membuktikan bahwa mimpi sekecil apa pun layak diperjuangkan, bahkan ketika tak dianggap. ( ab )