PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Sengketa kepemilikan lahan di kawasan Tello, Kelurahan Panaikang, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, kembali memanas. Seorang warga bernama Junedi, yang mengaku sebagai ahli waris sah atas sebidang tanah seluas 17.200 meter persegi, melaporkan dugaan pemalsuan sertifikat tanah ke Polda Sulawesi Selatan setelah mendapati adanya aktivitas pembangunan oleh pihak pengembang PT Tri Alpha di atas lahan yang diklaim milik keluarganya.
Menurut Junedi, lahan tersebut merupakan warisan keluarga besar Hamja Nawing, yang telah menguasai tanah itu sejak tahun 1969. Namun ketenangan keluarga itu terusik ketika pada tahun 2023 muncul kegiatan pembangunan di lokasi tersebut tanpa sepengetahuan ahli waris.
“Kami benar-benar kaget saat melihat sudah ada pengembang yang masuk membawa alat berat. Ketika kami datangi dan tunjukkan dokumen asli, termasuk sertifikat serta akta hibah tahun 1982 atas nama keluarga kami, pihak pengembang pun mengaku tidak tahu menahu soal kepemilikan sebelumnya,” ungkap Junedi saat ditemui di salah satu warkop di Makassar, Senin (6/10/2025).
Junedi menjelaskan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama Hamja Nawing, yang dihibahkan kepada ibunya melalui akta notaris Prof. Mr. Teng Tjin Leng Dumanauw, S.H. pada 1982. Namun, belakangan muncul klaim baru dari pamannya, Hamid Nawing, yang diduga mengajukan laporan kehilangan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mengurus dokumen baru atas nama dirinya sendiri.
“Kami menduga kuat telah terjadi pemalsuan dokumen. Sertifikat asli masih kami pegang, tetapi ada pihak lain yang melaporkan hilang dan kemudian terbitlah dokumen baru. Dari hasil konfirmasi BPN, memang ada indikasi manipulasi data untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut,” ujarnya.
Menindaklanjuti temuan itu, Junedi bersama kuasa hukumnya kemudian melaporkan dugaan tindak pidana pemalsuan ke Polda Sulsel. Laporan tersebut teregister dengan Nomor LP/B/252/III/2024/SPKT/POLDA SULSEL, tertanggal Maret 2024, dengan terlapor Hamid Nawing Cs. Hingga kini, kasus tersebut telah naik ke tahap penyidikan di Direktorat Reserse Kriminal Umum.
Namun, konflik tanah itu semakin meruncing ketika pada saat proses pengukuran resmi BPN dilakukan beberapa waktu lalu, Junedi dan timnya justru mengalami tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh sekelompok preman bayaran di lokasi sengketa.
“Kami datang bersama petugas BPN dan aparat kelurahan untuk melakukan pengukuran resmi. Tapi tiba-tiba datang sekelompok orang yang langsung mengusir kami dengan kasar. Saya sempat didorong, tangan saya dipelintir, bahkan alat ukur petugas hampir dirampas,” tutur Junedi.
Atas peristiwa itu, ia melakukan visum di RS Bhayangkara Makassar dan melaporkan dugaan penganiayaan serta perintangan tugas negara tersebut ke Polrestabes Makassar. Laporan ini telah teregister dengan Nomor LP/B/1984/X/2025/SPKT/POLRESTABES MAKASSAR/POLDA SULSEL.
Junedi menegaskan, tindakan kekerasan yang dialaminya merupakan bentuk intimidasi terhadap warga yang berupaya mencari keadilan. Ia meminta agar aparat penegak hukum tidak tinggal diam dan segera mengusut tuntas dua perkara yang telah dilaporkannya.
“Kami hanya ingin mempertahankan hak atas tanah keluarga kami. Saya berharap kepolisian serius menangani kasus ini baik dugaan pemalsuan dokumen maupun kekerasan yang kami alami saat menjalankan proses resmi bersama BPN,” tegasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Tri Alpha belum memberikan keterangan resmi terkait klaim kepemilikan lahan tersebut. Sementara itu, pejabat di BPN Kota Makassar juga belum bersedia memberikan komentar lebih lanjut dengan alasan masih menunggu hasil penyelidikan dari pihak kepolisian.
Kasus ini menambah panjang daftar sengketa pertanahan di wilayah Kota Makassar, yang belakangan kerap diwarnai dengan praktik pemalsuan dokumen, tumpang tindih sertifikat, dan keterlibatan pihak ketiga yang mengklaim lahan tanpa dasar hukum yang jelas. Publik kini menantikan langkah tegas aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan dan memastikan perlindungan hukum bagi warga atas hak tanahnya. (*)