“Kami berterima kasih pada investor, tapi jangan sampai investasi menyengsarakan rakyat. Kalau rakyat dizalimi, kami akan berdiri bersama mereka,” kata Andi Maradang, Jumat, 10 Oktober 2025.
Sorotan publik menguat setelah terungkap, lahan seluas 394,5 hektare disewakan kepada PT IHIP dengan nilai Rp4,45 miliar untuk lima tahun, atau sekitar Rp889 juta per tahun.
Bila dihitung, nilai sewanya hanya sekitar Rp226 per meter persegi per tahun. Angka itu jauh di bawah tarif sewa lahan menara telekomunikasi yang mencapai Rp4 juta per tahun untuk area 25 x 25 meter, sekitar Rp6.400 per meter persegi.
“Selisihnya terlalu besar. Kami curiga ada kejanggalan dalam MoU itu,” kata Zakkir Mallakani, pemuda Desa Harapan.
Ia juga menilai, proses pengambilan keputusan berlangsung tertutup. Mereka mengaku tidak pernah diajak bermusyawarah sebelum lahan disewakan.
“Tanah itu disewakan tanpa melibatkan kami, dan harganya sangat murah,” ujar Zakkir.
Menurutnya, dari sisi politik daerah, sejumlah anggota DPRD Luwu Timur juga mengaku tak pernah dilibatkan.
“Kami tidak tahu-menahu soal perjanjian sewa itu,” kata seorang legislator yang enggan disebut namanya.
Warga kini menuntut pemerintah daerah membuka dokumen terkait penyerahan lahan kompensasi dari PT Vale sebelum dialihkan ke PT IHIP.
Mereka meminta kejelasan alur pemanfaatan aset, mulai dari tahap serah terima hingga penetapan nilai sewa.
“Harus ada penjelasan menyeluruh. Jangan sampai aset publik dialihkan begitu saja tanpa dasar jelas,” kata Ibrahim, warga Desa Harapan.
Datu Luwu, A. Maradang, meminta agar aspirasi warga disampaikan langsung kepada bupati, gubernur, dan pemerintah pusat.
“Ini soal tanah dan martabat rakyat. Tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan penyimpangan prosedur maupun perbandingan nilai sewa yang dinilai tidak wajar. (Hdr)