PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Sorotan tajam tertuju pada kebijakan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur yang menyewakan lahan ratusan hektare kepada PT Indonesia Huali Industry Park (IHIP).
Sejumlah kalangan, mulai dari akademisi hingga tokoh adat Kedatuan Luwu, mempertanyakan dasar hukum dan kewajaran nilai sewa lahan yang dianggap terlalu rendah.
Akademisi Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina, menyebut kebijakan sewa tersebut berpotensi melanggar aturan jika tidak melalui mekanisme pengelolaan aset daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang telah diubah lewat PP Nomor 28 Tahun 2020.
“Kalau lahan itu termasuk Barang Milik Daerah, seluruh proses pemanfaatannya wajib mengikuti prosedur hukum yang sah. Kalau tahapan itu dilewati, keputusan sewa bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum administrasi,” ujar Jermias melalui sambungan telepon, Senin, 13 Oktober 2025.
Jermias memerinci, sedikitnya ada lima aspek hukum yang harus dipenuhi sebelum aset daerah dapat disewakan yaitu, kejelasan status aset, pelibatan DPRD, penilaian independen oleh lembaga appraisal, penetapan jangka waktu serta mekanisme sesuai aturan teknis, dan penyetoran hasil sewa ke kas daerah secara resmi.
“Itu bukan pilihan, tapi kewajiban hukum yang sifatnya mengikat. Kalau sebagian diabaikan, kebijakan itu patut dipertanyakan legalitasnya,” kata dia.
Ia menambahkan, absennya pelibatan DPRD dalam pembahasan sewa lahan menjadi sinyal awal adanya potensi pelanggaran kewenangan.
“Kalau DPRD tidak tahu-menahu, apalagi nilai sewanya tidak berdasarkan penilaian appraisal resmi, itu alarm pertama,” ujarnya.
Menurut Jermias, persoalan tersebut tidak berhenti pada ranah administrasi. Bila terbukti menimbulkan kerugian keuangan daerah, praktik itu dapat berimplikasi pidana.
“Kalau ada penyalahgunaan kewenangan atau ketidakterbukaan nilai transaksi, aparat penegak hukum punya dasar melakukan penyelidikan. Unsur tindak pidana korupsi bisa muncul,” tegasnya.
Ia menilai, langkah klarifikasi dari pemerintah daerah sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik.
“Dokumen administratif itu bukan rahasia negara. Pembukaannya bagian dari akuntabilitas publik,” katanya.
Dari sisi sosial dan adat, Datu Luwu ke-40 Andi Maradang Mackulau juga menyoroti perjanjian sewa lahan tersebut.
Dalam pertemuan dengan warga Desa Harapan, Kecamatan Malili, ia menegaskan Kedatuan Luwu tidak akan tinggal diam bila kebijakan pemerintah merugikan rakyatnya.
“Kami berterima kasih pada investor, tapi jangan sampai investasi menyengsarakan rakyat. Kalau rakyat dizalimi, kami akan berdiri bersama mereka,” kata Andi Maradang, Jumat, 10 Oktober 2025.
Sorotan publik menguat setelah terungkap, lahan seluas 394,5 hektare disewakan kepada PT IHIP dengan nilai Rp4,45 miliar untuk lima tahun, atau sekitar Rp889 juta per tahun.
Bila dihitung, nilai sewanya hanya sekitar Rp226 per meter persegi per tahun. Angka itu jauh di bawah tarif sewa lahan menara telekomunikasi yang mencapai Rp4 juta per tahun untuk area 25 x 25 meter, sekitar Rp6.400 per meter persegi.
“Selisihnya terlalu besar. Kami curiga ada kejanggalan dalam MoU itu,” kata Zakkir Mallakani, pemuda Desa Harapan.
Ia juga menilai, proses pengambilan keputusan berlangsung tertutup. Mereka mengaku tidak pernah diajak bermusyawarah sebelum lahan disewakan.
“Tanah itu disewakan tanpa melibatkan kami, dan harganya sangat murah,” ujar Zakkir.
Menurutnya, dari sisi politik daerah, sejumlah anggota DPRD Luwu Timur juga mengaku tak pernah dilibatkan.
“Kami tidak tahu-menahu soal perjanjian sewa itu,” kata seorang legislator yang enggan disebut namanya.
Warga kini menuntut pemerintah daerah membuka dokumen terkait penyerahan lahan kompensasi dari PT Vale sebelum dialihkan ke PT IHIP.
Mereka meminta kejelasan alur pemanfaatan aset, mulai dari tahap serah terima hingga penetapan nilai sewa.
“Harus ada penjelasan menyeluruh. Jangan sampai aset publik dialihkan begitu saja tanpa dasar jelas,” kata Ibrahim, warga Desa Harapan.
Datu Luwu, A. Maradang, meminta agar aspirasi warga disampaikan langsung kepada bupati, gubernur, dan pemerintah pusat.
“Ini soal tanah dan martabat rakyat. Tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan penyimpangan prosedur maupun perbandingan nilai sewa yang dinilai tidak wajar. (Hdr)