“Selamat jalan, Pak,” ucapku lirih.
“Engkau ayahku, guruku, dan teladan dalam hidupku.”
Air mata tumpah. Tangisan memenuhi ruangan, tapi di balik duka itu ada rasa syukur — aku sempat pulang sebelum ayah benar-benar pergi.
Jejak yang Tak Pernah Pudar
Banyak mengenal M. Basir sebagai wartawan, tapi sedikit yang tahu kisah hidupnya sebelum pena menjadi bagian dari dirinya. Sebelum bergabung di Pedoman Rakyat pada 1950-an, beliau adalah pegawai negeri di Kantor Imigrasi. Kariernya baik, tapi jiwanya terpanggil di dunia jurnalistik.
Cintanya pada dunia pers membuatnya rela meninggalkan status PNS — keputusan besar di masa itu. Ia selalu berkata,
“Jadi wartawan itu bukan cari nama, tapi cari makna.”
Selain jurnalis, ia juga seniman dan tokoh budaya Sulawesi Selatan. Melalui Pedoman Rakyat, ia turut membentuk wajah media di Indonesia Timur. Dikenal dengan sebutan Embas, ia juga menjadi salah satu pemegang saham harian tersebut.
Kepemimpinannya di komunitas pers membawanya terpilih sebagai Ketua PWI Sulawesi Selatan selama dua periode (1966–1968 dan 1970–1972). Tulisan-tulisannya tajam dan berani, sering mengkritik kebijakan pemerintah serta memperjuangkan kebebasan pers.
Ia menjadi mentor bagi banyak jurnalis ternama: Rahman Arge, Arsyal Alhabsi, Dahlan Abubakar, Ronald Ngantung, Ridwan Saidi, dan banyak lainnya.
Salah satu ucapannya yang paling dikenal:
“Ada dua tugas wartawan: mewartakan kejadian dan menyingkap kebenaran. Kita dimuliakan oleh tugas yang kedua.”
Kecintaannya pada bangsa tampak ketika Presiden Soeharto menawarinya posisi Duta Besar untuk Filipina, namun ia menolak dengan rendah hati:
“Saya lebih dibutuhkan di tanah sendiri.”
Ridwan Saidi pernah menuturkan bahwa Basir kerap dimintai pendapat oleh Soeharto soal siapa yang layak menjadi bupati di daerah, khususnya di Sulsel. Karena itu, banyak orang Jeneponto kemudian menduduki posisi penting di pemerintahan masa itu.
Tak hanya di dunia pers, M. Basir juga dikenal sebagai pencipta lambang Kota Makassar, serta logo Kodam XIV Hasanuddin, Kabupaten Jeneponto, dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Menariknya, untuk logo Unhas, beliau justru memberi idenya kepada keponakannya, Mustafa Djalle, agar mengikuti lomba resmi menggunakan desainnya. Ia tak mencari nama, hanya ingin karyanya berguna.
Warisan yang Hidup di Pena
Empat puluh tahun telah berlalu sejak kepergiannya. Namun setiap kali aku menulis berita, menatap huruf demi huruf di layar, aku seolah mendengar suaranya kembali:
“Kalau menulis, Ardhy, jangan karena ingin dipuji. Menulis itu ibadah, asal niatmu tulus.”
Ayah mungkin telah tiada, tapi semangat dan prinsipnya tetap hidup — bukan hanya di keluarganya, tapi juga di setiap jurnalis Pedoman Rakyat yang mewarisi idealismenya.
Ia sosok sederhana tapi tegas, lembut tapi berani. Dan di antara banyak warisan yang ia tinggalkan, satu pesan paling kupegang:
“Tugas wartawan adalah menuliskan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu membuatmu sendiri terluka.”
Mungkin itulah sebabnya, di hari kepergiannya, ia sempat mengangguk — seolah berkata bahwa tugas harus tetap dijalankan, meski waktu tak lagi berpihak.
Kini, setiap kali aku melintasi Kanal Tallo, tempat aku meliput di hari terakhirnya, kenangan itu selalu datang kembali. Di tepi kanal itu, seakan masih terdengar suaranya:
“Utamakan tugasmu, Nak. Tapi jangan lupa, tugas sejati wartawan adalah menulis dengan hati.”
Dan setiap kali pena ini menari di atas kertas, aku tahu — ayahku masih hidup di setiap tulisan yang jujur.