Memoar: Janji di Ujung Nafas Ayahku

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Oleh: Ardhy M. Basir

Pengantar Redaksi:

Empat puluh tahun lalu, seorang jurnalis senior meninggalkan dunia dalam keheningan sore di bulan Oktober. Ia bukan hanya wartawan, tapi juga seniman dan perintis media di Sulawesi Selatan — M. Basir, mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat.
Dalam tulisan berikut, putranya, Ardhy M. Basir — juga seorang wartawan — mengenang hari-hari terakhir sang ayah dan warisan idealisme yang masih hidup hingga kini.

Sebuah Pagi di Bulan Oktober

Senin, 14 Oktober 1985. Langit Makassar tampak biasa saja, tapi di hatiku ada perasaan ganjil yang sulit dijelaskan. Di Rumah Sakit Akademis, ruang VIP A Utama, ayahku — M. Basir, mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat — terbaring lemah, melawan sakit di usia 62 tahun.

Aku, Ardhy M. Basir, baru saja diterima menjadi wartawan di Pedoman Rakyat setelah melewati seleksi ketat bersama puluhan calon jurnalis muda. Hari itu aku dijadwalkan meliput penggalian perdana Kanal Tallo, proyek besar yang dinantikan masyarakat Makassar. Tapi di sisi lain, aku tahu waktu ayah mungkin tak banyak lagi.

Sekitar pukul sembilan pagi aku datang menjenguk. Ibu, St. Syam, setia di sisinya. Saat melihatku, ia berdiri dengan langkah pelan.

“Mak, ada peliputan ku hari ini. Tidak lama ji,” kataku menahan suara.

Ibu menatapku lama, lalu berbisik,

“Atik nu ( panggilan anak-anaknya kepada ayah ) ndak lama lagi,” katanya pelan, bergetar.

Aku menatap ayah. Napasnya pendek, terputus-putus. Aku menggenggam tangannya, dingin tapi masih terasa hangat di hati — tangan yang dulu menuntunku menulis huruf pertama di meja kayu rumah kami.

“Ati, tunggu ka. Jangan ki pergi dulu,” bisikku.
“Kita sendiri bilang, utamakan tugasmu. Jadi wartawan harus tuntas.”

Baca juga :  PKKMB Unhas, Kasdam XIV/Hasanuddin Tanamkan Jati Diri Bangsa pada Generasi Muda

Ayah tak membuka mata, tapi kepalanya sedikit bergerak. Ia mengangguk. Isyarat sederhana, tapi penuh makna: ayah merestui aku menjalankan tugas — bahkan di detik terakhir hidupnya.

Aku menatap ibu.

“Atikku akan tunggu ja, Mak. Jam berapapun, saya pasti ketemu.”

Ibu menggenggam tanganku erat. Air bening jatuh di pipinya.

Antara Tugas dan Takdir

Pukul 11 lewat, aku tiba di lokasi liputan. Empat ekskavator besar berjajar di depan panggung upacara. Wali Kota Makassar M. Jancy Raib, Ketua DPRD, Kapoltabes, dan Dandim masing-masing mengemudikan satu alat berat. Ketika skop baja itu menancap ke tanah secara bersamaan, tepuk tangan menggema.

Namun pikiranku tak sepenuhnya di sana. Di balik riuhnya acara, wajah ayah terus membayang. Tapi pesan beliau masih terngiang:

“Kalau meliput, jangan setengah hati.”

Aku bekerja seperti biasa — mencatat, memotret, mewawancarai — sambil terus berdoa agar ayah menunggu.

Pukul 12.30 aku bergegas kembali ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, hatiku berdebar antara cemas dan pasrah.

Terima Kasih, Ayah

Begitu tiba, suasananya hening. Beberapa keluarga berdiri di depan ruang VIP A Utama. Di dalam, tiga dokter — dr. Luy Rajawane, dr. Husni Tanra, dan seorang dokter lainnya — berdiri di sisi ranjang.

Dr. Husni memberi jalan padaku untuk mendekat. Wajah ayah tampak damai, seolah baru saja melepaskan beban panjang.

“Terima kasih, Pak. Kita tunggu ka,” bisikku di telinganya.

Kuusap kepalanya perlahan. Tak ada lagi napas yang tersisa, tapi wajahnya tenang.

“Selamat jalan, Pak,” ucapku lirih.
“Engkau ayahku, guruku, dan teladan dalam hidupku.”

Air mata tumpah. Tangisan memenuhi ruangan, tapi di balik duka itu ada rasa syukur — aku sempat pulang sebelum ayah benar-benar pergi.

Baca juga :  Kapolres Pelabuhan Makassar Dampingi Kapolda Sulsel Dalam Pemantauan Arus Mudik Lewat Zoom Meeting Nasional

Jejak yang Tak Pernah Pudar

Banyak mengenal M. Basir sebagai wartawan, tapi sedikit yang tahu kisah hidupnya sebelum pena menjadi bagian dari dirinya. Sebelum bergabung di Pedoman Rakyat pada 1950-an, beliau adalah pegawai negeri di Kantor Imigrasi. Kariernya baik, tapi jiwanya terpanggil di dunia jurnalistik.

Cintanya pada dunia pers membuatnya rela meninggalkan status PNS — keputusan besar di masa itu. Ia selalu berkata,

“Jadi wartawan itu bukan cari nama, tapi cari makna.”

Selain jurnalis, ia juga seniman dan tokoh budaya Sulawesi Selatan. Melalui Pedoman Rakyat, ia turut membentuk wajah media di Indonesia Timur. Dikenal dengan sebutan Embas, ia juga menjadi salah satu pemegang saham harian tersebut.

Kepemimpinannya di komunitas pers membawanya terpilih sebagai Ketua PWI Sulawesi Selatan selama dua periode (1966–1968 dan 1970–1972). Tulisan-tulisannya tajam dan berani, sering mengkritik kebijakan pemerintah serta memperjuangkan kebebasan pers.

Ia menjadi mentor bagi banyak jurnalis ternama: Rahman Arge, Arsyal Alhabsi, Dahlan Abubakar, Ronald Ngantung, Ridwan Saidi, dan banyak lainnya.

Salah satu ucapannya yang paling dikenal:

“Ada dua tugas wartawan: mewartakan kejadian dan menyingkap kebenaran. Kita dimuliakan oleh tugas yang kedua.”

Kecintaannya pada bangsa tampak ketika Presiden Soeharto menawarinya posisi Duta Besar untuk Filipina, namun ia menolak dengan rendah hati:

“Saya lebih dibutuhkan di tanah sendiri.”

Ridwan Saidi pernah menuturkan bahwa Basir kerap dimintai pendapat oleh Soeharto soal siapa yang layak menjadi bupati di daerah, khususnya di Sulsel. Karena itu, banyak orang Jeneponto kemudian menduduki posisi penting di pemerintahan masa itu.

Tak hanya di dunia pers, M. Basir juga dikenal sebagai pencipta lambang Kota Makassar, serta logo Kodam XIV Hasanuddin, Kabupaten Jeneponto, dan Universitas Hasanuddin (Unhas).

Baca juga :  Panduan Cara Penukaran Uang Baru Lebaran 2025 via PINTAR BI

Menariknya, untuk logo Unhas, beliau justru memberi idenya kepada keponakannya, Mustafa Djalle, agar mengikuti lomba resmi menggunakan desainnya. Ia tak mencari nama, hanya ingin karyanya berguna.

Warisan yang Hidup di Pena

Empat puluh tahun telah berlalu sejak kepergiannya. Namun setiap kali aku menulis berita, menatap huruf demi huruf di layar, aku seolah mendengar suaranya kembali:

“Kalau menulis, Ardhy, jangan karena ingin dipuji. Menulis itu ibadah, asal niatmu tulus.”

Ayah mungkin telah tiada, tapi semangat dan prinsipnya tetap hidup — bukan hanya di keluarganya, tapi juga di setiap jurnalis Pedoman Rakyat yang mewarisi idealismenya.

Ia sosok sederhana tapi tegas, lembut tapi berani. Dan di antara banyak warisan yang ia tinggalkan, satu pesan paling kupegang:

“Tugas wartawan adalah menuliskan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu membuatmu sendiri terluka.”

Mungkin itulah sebabnya, di hari kepergiannya, ia sempat mengangguk — seolah berkata bahwa tugas harus tetap dijalankan, meski waktu tak lagi berpihak.

Kini, setiap kali aku melintasi Kanal Tallo, tempat aku meliput di hari terakhirnya, kenangan itu selalu datang kembali. Di tepi kanal itu, seakan masih terdengar suaranya:

“Utamakan tugasmu, Nak. Tapi jangan lupa, tugas sejati wartawan adalah menulis dengan hati.”

Dan setiap kali pena ini menari di atas kertas, aku tahu — ayahku masih hidup di setiap tulisan yang jujur.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Koramil 1408-10/Panakkukang–Manggala Gelar Patroli Gabungan, Wujudkan Sinergitas TNI dan Masyarakat

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Dalam upaya memperkuat keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah binaan, Koramil 1408-10/Panakkukang–Manggala kembali menunjukkan komitmennya...

Indonesia Tahan India 1-1

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA - Indonesia berhasil menahan imbang, timnas U-23 India, 1-1, dalam leg kedua pertandingan persahabatan internasional di...

Kepala Bapanas Tancap Gas Bekerja Usai Sertijab

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA – Menteri Pertanian (Mentan) Amran menegaskan komitmen untuk memperkuat kerja sama lintas lembaga dalam mempercepat terwujudnya...

Pemdes Cendana Hitam Gelar Musyawarah Penetapan RKPDes 2026

PEDOMANRAKYAT, LUTIM — Pemerintah Desa Cendana Hitam, Kecamatan Tomoni Timur, Kabupaten Luwu Timur, menggelar Musyawarah Desa Penetapan Rencana...