PEDOMANRAKYAT, BULUKUMBA - Sore itu, cahaya layar virtual Rumah Buku SaESA memantulkan semangat kecil dari ruang besar bernama pengetahuan. Pukul 17.00 WITA, para peserta pengajian DKV kembali berlabuh dalam satu tema yang menjadi nadi dalam dunia desain komunikasi visual: Typography.
Dr. Sumbo Tinarbuko, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, membuka ruang percakapan dengan kesadaran semiotik: bahwa huruf bukan sekadar bentuk, melainkan lambang bunyi yang menyimpan makna sosial, budaya, dan estetika.
“Typography adalah awal mula lahirnya desain grafis. Di balik setiap huruf, tersembunyi sejarah bahasa, dan di balik bahasa, bersemayam ilmu semiotika. Huruf itu adalah lambang bunyi — sekaligus tanda yang membentuk dialektika visual,” tutur Dr. Sumbo membuka pembahasan.
Dalam kajian komunikasi visual, menurutnya, terdapat tujuh risalah dasar, salah satunya adalah typography sebagai simbol bunyi. Huruf bekerja sebagai sistem tanda yang tidak hanya dibaca, tetapi juga dirasakan. Ia menjadi jembatan antara dunia verbal dan dunia visual — antara makna dan keindahan.
“Bagi desainer komunikasi visual, kebutaan terhadap typography adalah kebutaan terhadap akar bahasa verbal. Kita perlu mengamati huruf, menyesap napasnya, lalu mengkustomnya agar hidup kembali sebagai simbol bunyi estetika,” lanjutnya.
Typography, dalam pandangan Dr. Sumbo, bukan sekadar teknis memilih font atau mengatur jarak antarhuruf. Ia adalah tindakan kultural — sebuah laku visual yang menuntut pengamatan, perenungan, dan dialog antara mata, pikiran, dan perasaan.
“Cara terbaik memahami typography adalah dengan banyak melihat. Karena dengan melihat, desainer belajar mengamati, mengalami, dan merasakan,” ujarnya menegaskan pentingnya empati visual.
Bagi Dr. Sumbo, desainer komunikasi visual tidak hanya berkutat dalam ruang visual, tetapi juga harus mampu menyeberang ke wilayah verbal. Huruf adalah tanda, dan setiap tanda memanggil kesadaran pembacanya untuk menafsirkan.
“Desainer tidak hanya membuat gambar yang indah. Ia harus mampu mendekonstruksi visual menjadi pesan verbal. Karena huruf-huruf itu sejatinya adalah tanda kehidupan,” pungkasnya.
Percakapan sore itu tidak hanya berhenti pada diskursus akademik. Ia menjelma menjadi ruang tafsir bersama. Huruf-huruf dibicarakan bukan sekadar bentuk, melainkan napas yang menyalurkan makna ke dalam kehidupan sehari-hari.
Sakkir, fasilitator Rumah Buku SaESA, menutup dengan refleksi hangat:
“Typography adalah asteroid kecil yang menjaga agar huruf-huruf tidak mati dalam sistem pesan. Hari ini kita belajar, bahwa mengamati huruf berarti menjaga kehidupan itu sendiri.”
Pengajian seni ini bukan sekadar pertemuan daring. Ia adalah ritual visual — tempat huruf, bunyi, dan jiwa desain saling berdialog dalam kesadaran estetika. Semoga dari ruang virtual kecil di Bulukumba, percakapan tentang huruf dan makna ini terus berdenyut, membawa cahaya bagi dunia komunikasi visual yang lebih hidup dan manusiawi.
( Musakkir Basri )