Dengan semangat idealisme yang tinggi, Basir mengabdikan dirinya di dunia pers. Ia bahkan mengundurkan diri dari pekerjaannya di Kantor Imigrasi Makassar pada 1957 demi fokus membesarkan Pedoman Rakyat sebagai Pemimpin Redaksi dan pemegang saham. Dari tangannya lahir wartawan-wartawan tangguh seperti Ronald Ngantung, Rahman Arge, dan Arshal Al Habsy.
“Bagi banyak wartawan, beliau bukan hanya pemimpin redaksi, tapi ‘Sang Guru’. Ia mendidik dengan keteladanan, bukan perintah,” tutur Ardhy mengenang ayahnya yang juga pernah menjabat Ketua PWI Sulsel dua periode (1966–1968).
Kepiawaiannya tak berhenti di dunia jurnalistik. Basir juga berkontribusi dalam desain kota bersama Wali Kota Makassar Patompo. Dari tangan dinginnya lahir sejumlah patung, taman kota, hingga ikon legendaris seperti Tanggul Patompo.
Karya militernya pun tak kalah monumental. Lambang Kodam XIV/Hasanuddin dan Kodam XII/Wirabuana adalah hasil rancangannya. Atas dedikasi itu, ia menerima piagam penghargaan dari Pangdam Mayjen TNI Soetedjo pada 2 Mei 1985.
Basir menghembuskan napas terakhir pada Senin, 14 Oktober 1985, di RS Akademis. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi dunia seni, budaya, dan pers Indonesia Timur.
Kini, 40 tahun berselang, keluarga EMBAS kembali memaknai warisan itu. “Haul ini bukan sekadar mengenang, tapi menghidupkan nilai-nilai beliau, keikhlasan, integritas, dan cinta akan kebenaran,” ujar Pemimpin Umum Pedomanrakyat.co.id., Ardhy dengan mata berkaca-kaca.
Acara haul ditutup dengan doa bersama dan jamuan makan malam. Dalam suasana penuh kehangatan, generasi muda EMBAS diajak meneladani sang maestro bahwa perjuangan sejati tak selalu dengan senjata, tapi dengan pena, karya, dan ketulusan hati. (*Rz)